•Cerita 19: _Luka(3)

808 52 4
                                    

Clarissa duduk didampingi Jelita dan Bu Sari yang masing-masing senantiasa menggenggam tangannya. Clarissa menyandarkan kepalanya di pundak Bu Sari dengan tatapan lurus ke depan dengan pandangan kosong. Air matanya tak setetes pun keluar. Meskipun dia merasakan sesak yang teramat sangat di dadanya, tapi dia tidak bisa mengekspresikannya. Perasaannya sangat hancur seperti tak bersisa. Dunia seakan runtuh dan menghempaskannya dalam ruang hampa yang hitam pekat.

Bu Sari, Fadil dan Kendra langsung bergegas datang ke Rumah Sakit setelah dihubungi oleh sopir keluarga Kalindra. Pak Sam juga sudah menghubungi Pak Burhan dan ayah angkat Clarissa itu akan secepatnya datang setelah menyelesaikan pertemuan penting dengan para pejabat dari kementerian negara. Sedangkan Bian juga sudah dihubungi oleh Pak Sam. Tapi karena posisinya masih di luar kota, butuh waktu sedikit lebih lama baginya untuk sampai di Rumah Sakit.

Jo duduk di kursi yang berhadapan dengan Clarissa. Ditatapnya putri kandungnya itu yang sekarang tampak seperti tak bernyawa. Air mata pria paruh baya itu kembali menetes melihat betapa hancurnya keadaan sang putri sekarang, juga kondisi Gala yang cukup serius. Dia memejamkan mata sembari merutuki kebodohannya dan menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya dia tidak membiarkan Gala pergi masuk sendiri, pasti cucunya itu akan tetap baik-baik saja sekarang. Seandainya dia mengekori Gala tadi, pasti hal buruk ini tidak terjadi. Dan perandai-andaian yang lain yang dia pikirkan, membuat dirinya semakin merasa bersalah.

Jonathan sendiri berdiri bersandar pada dinding, di sebelah sang Papa. Lelaki itu sudah mencoba mendekati Clarissa tadi, tapi adiknya itu sama sekali tidak merespon. Fadil pun melakukan hal yang sama, tapi Clarissa tetap tenggelam dalam pusaran kehampaan yang tak berujung. Mungkin kesadarannya baru akan pulih setelah menyaksikan Gala membuka mata kembali.

Kendra sendiri tak bisa diam semenjak kedatangannya tadi. Dia berjalan mondar mandir di depan pintu ruang operasi, tempat sang anak bertarung antara hidup dan mati. Ketika seorang perawat keluar, Kendra langsung menghampirinya.

"Bagaimana kondisi anak saya, Sus?" tanya Kendra yang berhasil mengalihkan perhatian semua orang yang menunggu proses operasi Gala, kecuali Clarissa. Bunda Gala itu tak menoleh sama sekali.

"Anda Papa pasien?" tanya perawat yang diiyakan Kendra. "Pasien membutuhkan sekitar satu sampai dua kantong darah lagi. Jika bersedia diambil darahnya, Bapak bisa melakukan test terlebih dahulu. Golongan darah pasien B, Pak."

"Golongan darah saya B, Sus..... Ambil darah saya sebanyak-banyaknya dan tolong selamatkan anak saya. Kalau perlu ambil semua darah saya..... yang penting anak saya baik-baik saja, Sus," ucap Kendra dengan mata merah dan berkaca-kaca.

"Kami akan melakukan yang terbaik dan akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Mari ikut saya," balas perawat.

Kendra mengiyakan, lalu mengikuti langkah sang perawat menuju ke ruangan yang berbeda. Dari arah lain terdengar suara derap langkah kaki yang semakin cepat dan semakin mendekat.

"Clarissa..... putriku," ucap Bu Widya yang sudah berlinang air mata dan langsung mendekati Clarissa. Karena Clarissa tidak merespon dan masih terdiam bersandar di pundak Bu Sari, maka Bu Widya pun menyentuh lengan Bu Sari. "Biar saya gantikan, Bu..... Bu Sari pasti lelah."

Bu Sari hanya mengangguk. Bu Widya menahan kepala Clarissa dan Bu Sari pun bergeser mendekat pada Fadil. Bu Widya kemudian duduk dan menyandarkan kepala Clarissa ke pundaknya. Sedangkan Jelita masih tetap menggenggam tangan kiri Clarissa sembari menatap putrinya itu. Pak Burhan tak kuasa menahan air mata melihat kondisi Clarissa. Beliau pun kemudian menyeka air mata dengan punggung tangannya dan mendekati Jo.

"Apa yang dikatakan Dokter, Pak Jo?" tanya Pak Burhan.

Jo menghela napas berat. "Ada pendarahan yang cukup serius di kepala, Pak."

Kumpulan "ONESHOT STORY"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang