27. Keberangkatan Sang Kapten

113 25 0
                                    

Dua hari telah mereka lewati dengan tawa dan kebahagiaan. Di teras vila yang mulai diselimuti senja, Eza duduk bersandar, menatap Dava yang tengah mengemasi koper.

"Jadi... besok lo beneran berangkat?" tanyanya lirih, sorot matanya sendu menahan haru.

Dava berhenti sejenak, menatap Eza. "Iya... Maaf, gue nggak bisa temenin lo terus," ucapnya pelan, terdengar jelas nada bersalah dalam suaranya.

Eza tersenyum, meski bibirnya bergetar. "Nggak apa-apa... Lo lakuin ini juga demi gue, kan?"

Dava mengangguk. Ia menggenggam tangan Eza sebentar, lalu berdiri. "Ayo pulang," ajaknya sambil menarik koper keluar dari vila.

---

Perjalanan panjang nan membosankan akhirnya mengantar mereka sampai di rumah Nio saat matahari tepat di atas kepala.

"Eghem... Yang udah pulang, gimana proses pembuatan debay? Lancar?" sapa Karel sambil menaikkan sebelah alisnya, menggoda.

"Lancar aman jaya dong!" sahut Areksa lebih dulu sebelum Dava maupun Eza menjawab.

"Kasih gue ponakan kembar, ya!" seru Karel ceria.

"Kembar telur kau!" cibir Eza dengan muka masam lalu melangkah cepat ke kamar, disusul Dava.

"Galak amat!" gumam Karel heran.

"Heh! Kalian berdua, nanti turun!" teriak Nio dari bawah, baru menyadari kepulangan mereka.

---

Di kamar, Eza sibuk mengatur isi koper Dava. Ia memasukkan satu foto kecil ke dompet Dava.

"Ini wajib dibawa! Jangan sampe lo lupa kalo udah punya istri!" ucapnya sambil menatap tajam, tapi ada senyum kecil di ujung bibirnya.

Dava menahan tawa, menyenggol tangan Eza. "Nggak mungkinlah gue lupain bidadari secantik ini."

"Udah, sisanya nanti malem aja disusun," ucap Eza sambil mengamati koper, lalu menatap Dava mantap. "Ayo turun."

Di ruang keluarga, suasana hening. Nio dan lainnya duduk diam, seperti menunggu sesuatu.

"Kenapa pada diem begini?" tanya Eza bingung.

"Dava pergi besok. Kita juga bakal balik ke Belanda beberapa bulan," ujar Nio langsung ke pokok bahasan.

"Lah?! Terus Dava nyusul gitu?" tanya Eza terkejut.

"Ya... begitu rencananya," sahut Nio santai.

Eza menarik napas, lalu tersenyum. "Oke, lagian gue udah pernah janji tinggal di Belanda juga."

"Dava, jaga diri baik-baik di sana. Jadi nakhoda itu nggak gampang," pesan Nio dengan tatapan tegas namun penuh perhatian.

Dava mengangguk mantap. "Makasih, Dad."

---

Malamnya, Eza dan Dava duduk berdua di atas ranjang. Tiba-tiba ponsel Eza berbunyi.

"Eh, ada yang kirim video!" serunya penasaran lalu langsung memutar.

Wajahnya berubah geli saat melihat tayangan dua orang dipanggang seperti sate dengan api besar. "Astaga... tuh orang, makan daging manusia kayak makan daging sapi aja!"

Dava mendekat, matanya melotot. "Gila... tusuknya dari pantat sampe mulut, Alah..."

"Makan sampe belepotan gitu... nikmat banget kayaknya," geleng Eza ngeri tapi penasaran.

"Dan dia nulis begini, ‘Makasih, kenyang banget makan dua mangsa ini’. Ih, heran, kenapa bukan daging biasa aja sih?" ucap Eza, manggut-manggut sendiri.

ALENZA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang