Rupa air wajah Sagion cukup dapat disimpulkan jika ia sedang dalam situasi yang serius. Lift yang digunakannya masih berjalan melewati tiap lantai bangunan perusahaannya. Sekitar beberapa menit akhirnya lift yang terasa berjalan lamban pun terbuka. Lelaki itu sampai pada lantai paling atas yang mana hanya berisikan ruang miliknya serta general manager. Sisanya hanya sebuah hall besar untuk melakukan meeting.
Setelah mendapatkan informasi jika ayah mertuanya datang berkunjung ke perusahaan, Sagion langsung meninggalkan pekerjaannya untuk menghampiri Habin.
Ya, entah kenapa hatinya merasa gusar. Tidak biasanya Habin berprilaku seperti ini, datang secara langsung tanpa ada obrolan pribadi lebih dulu. Apalagi sekarang belum waktunya jam makan siang. Sudah dipastikan jika Habin pun menyempatkan sedikit waktu luangnya di rumah sakit hanya untuk bertemu dengannya.
"Papa." Sagion membuka pintu ruangannya. Ia segera duduk pada sofa di hadapan ayah mertuanya. "Ada apa ini, Pah? Tumben datang ngga bilang-bilang dulu?"
Kalimat Sagion seakan berlomba dengan helaan napasnya yang terengah-engah. Bagaimana tidak? Ia berlari mulai dari lantai dasar agar bisa segera ada di sini.
"Tenang dulu, nak." Habin tau kedatangan mendadak ini membuat menantunya cemas. Itu terlihat dari wajahnya.
"Apa terjadi sesuatu?"
Lantas hal pertama yang Habin lakukan adalah menghela napasnya kuat-kuat.
"Begini, Sagion, Papa rasa ada kejadian yang tidak beres. Rumah kami mendapat teror."
"Teror?" Keningnya mengerut tajam. "Teror gimana maksudnya?"
"Awal kejadiannya di malam hari saat semua orang sudah tidur. Tiba-tiba ada suara pecahan kaca nyaring dari lantai atas. Papa yang pertama kali sadar akan hal itu, langsung memutuskan untuk pergi ke tempat dimana suaranya berasal. Dan kamu tau ruangan mana yang jendela kacanya pecah? Ternyata kamar Sephora."
Sagion masih bergeming, ia menunggu kalimat berikutnya.
"Ternyata jendela itu pecah karena lemparan batu yang di bungkus kertas putih. Kertasnya bukan kertas biasa. Ada tulisan di dalamnya. 'Jalan Tegram : 28' itu tulisannya. Ditulis pakai tinta merah. Tapi setelah beberapa hari Papa cari tau dimana alamat itu, Papa tidak menemukan apa pun selain lahan kosong. Tidak ada petunjuk apa-apa lagi."
"Itu jebakan," katanya sebagai respon pertama. "Bisa jadi orang itu sengaja mancing Papa atas teror yang dia lakuin. Apa selain di malam itu ada kejadian lagi?"
"Di hari ke lima. Orang rumah mendapat kiriman paket yang tidak dikenal dari mana asalnya. Dikirim atas nama Sephora. Papa sempat memastikan lebih dulu dengan Sephora apa dia memang sengaja kirim paket itu ke alamat rumah orang tuanya atau bagaimana. Namun ternyata dia tidak tau menau."
"Apa isinya?"
"Kotak kecil berwarna putih. Isinya hanya selembar kertas yang dilipat seperti surat. Lagi-lagi isinya sebuah alamat."
"Di mana?"
"Alamat rumah sakit Sephora."
Suasana nyaris menghening karena diantara dua orang ini tak ada satupun yang hendak berucap lagi. Benak mereka seakan membuat pola tersendiri atas teka-teki dari apa yang terjadi— yang disinyalir bisa saja menjurus pada sebuah ancaman.
Di teror katanya? Sangat tidak mungkin rasanya jika keluarga Primar memiliki musuh atas rasa ketidaksukaan seseorang kepada keluarga mereka. Keluarga yang semua anggotanya berprofesi sebagai dokter itu sangatlah baik hati dan dermawan. Mereka terkenal akan hal baik tersebut.
Dan dari penuturan ayah mertuanya, Sagion tersadar jika hampir seluru bukti-bukti ancaman itu mengarah pada Sephora. Hal itu semakin membuat pikiran Sagion lebih banyak mengira hal-hal buruk.