Chapter 1

1.2K 194 33
                                    

“Like a small coffeehouse on the street of exiles. That is love, it opens its door to all.”
—Mahmoud Darwish—

Jika diminta menyebutkan satu hal yang tidak akan pernah Althea percaya dalam hidupnya, maka jawabannya adalah menikah dengan Atzel Reihan Bachtiar pada usianya yang ke-dua puluh sembilan tahun. Setelah membulatkan tekad untuk tidak pernah lagi dekat apalagi sampai menjalin hubungan dengan pria yang lebih muda, Althea justru menerima pinangan Atzel yang usianya baru menginjak dua puluh lima.

Meskipun umur memang bukan satu-satunya unsur yang menentukan kedewasaan seseorang, tapi bagi Althea yang sebelumnya pernah dikecewakan oleh mantan kekasih yang lebih muda, menerima Atzel sebagai bagian dari hidupnya jelas merupakan keputusan besar. Selain itu, meski mereka pernah sama-sama menimba ilmu di universitas yang sama, tapi selama bertahun-tahun, Althea dan Atzel bahkan tidak pernah sekalipun bertegur sapa. Mereka cuma pernah berpapasan beberapa kali di acara-acara besar seperti event PPI atau Idul Fitri. Mungkin beberapa kali lainnya adalah saat Atzel masih suka bermain futsal dengan mantan pacar Althea; atau di acara hiking bareng ke Arthur’s Seat dengan beberapa pengurus PPI.

Tapi perlu digaris bawahi, diberi format italic, bahkan mungkin ditebalkan: Althea dan Atzel tidak punya satupun common thing yang memungkinkan keduanya bersinggungan. Althea tahu Atzel karena mantannya sering menceritakan tentang ‘si bocah’ yang kala itu masih berusia dua puluh tahun. Menurut keterangan ‘sang mantan’, Atzel itu tipe anak manja dan egois yang gampang tersinggung. Althea ingat sebelum hiking date di Sabtu pagi yang cerah, Adimas pernah mengatakan ini di dapur mereka: ‘Atzel itu tipe-tipe rich kid yang manja banget. Masa dia langsung pergi di tengah-tengah futsal karena katanya aku terlalu banyak ngatur sih say. Maksudnya, kamu tahu kan aku gimana, kalau lagi main aku emang sering ngomong. Padahal aku cuma ngarahin aja, karena Atzel kalo nendang bola meleset terus. Tapi ya namanya juga Putra Mahkota, dibilangin gitu malah marah-marah. Aku nggak suka tipe orang kayak gitu. Malesin.’

Setelah mengenal Atzel secara personal, Althea sadar kalau Adimas itu memang senang membual. Sebab pada kenyataannya, Atzel sama sekali bukan anak manja yang menyebalkan dan egois. Memang benar kalau suaminya ini agak manja, maklum, dia anak tunggal dari keluarga banker paling kaya di Indonesia, tapi menyebutnya sebagai pribadi yang egois jelas merupakan sebuah fitnah. Bahkan mungkin cuma omong kosong belaka.

“Kamu tahu kenapa Mahmoud Darwish bilang kalau cinta itu ibarat coffeehouse kecil di pengasingan yang pintunya terbuka untuk semua orang?” itu pertanyaan Atzel sebulan sebelum mereka menikah—mungkin satu hari sebelum Althea kembali meminta bertemu untuk mengiyakan lamarannya.

Saat itu Atzel hampir menyerah—sempat berpikir untuk berhenti membuat Althea jatuh cinta setelah bertahun-tahun mencintainya dalam diam dan tiga bulan mengejarnya secara ugal-ugalan. Lalu katanya dengan tatapan lembut yang disorotkan langsung ke matanya—bahkan dengan sebaris senyum tipis, “Itu karena cinta memang dimaksudkan buat semua orang. Tapi kan memang nggak semua orang itu mau berjalan masuk dan berkomitmen. Ya udah, selamat malam, Tee. Aku hargai keputusan kamu; tapi aku bakal tetap berdoa supaya kamu berubah pikiran. Katamu kan Tuhan itu maha membolak-balikkan hati. Semoga Dia sudi kiranya buat membalikkan hati kamu.”

Dan Tuhan mengabulkan doa Atzel—meskipun Althea masih belum bisa menyebutnya sebagai cinta. Sebab alasan terbesarnya menerima pinangan Atzel tidak lain dan tidak bukan adalah karena keinginannya untuk melanjutkan studi ternyata memang jauh lebih besar. Namun, ada satu syarat mutlak yang keluarganya berikan pada Althea kalau dirinya memang mau mengejar mimpi untuk melanjutkan S3: dia harus sudah menikah. Ayahnya khawatir kalau Althea pergi lagi ke Inggris, nanti putrinya itu bakal terpincut (lagi) pesona laki-laki kurang jelas seperti Adimas. Tidak jelas cinta dan tidak jelas proyeksi masa depannya. Intinya, Pak Baskara khawatir kalau hati putrinya bakal kembali dipatahkan, sekaligus takut kalau Althea kembali bertemu dengan Adimas. Sebab, mungkin, keteguhan Althea akan kembali goyah.

Adore YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang