Chapter 6

575 87 2
                                    

This chapter is short and maybe painful? Atau ngeselin. Hehehe

(A comment and love will be very much appreciated)

❄️
❄️
❄️

“She liked him, had liked him, but now all she felt was the faint but real distaste a woman feels for the lover she no longer desires.”
—Aminatta Forna—

Kehidupan pasca putus menjadi momen paling menyiksa bagi Althea. Saat itu usianya baru dua puluh lima—kakinya baru mau menjajaki dunia yang kata orang begitu terjal dan menyiksa. Rupanya itu bukan cuma isapan jempol belaka; malahan dia merasa kalau dunia yang baru dia jajaki itu kelampau sadis dan menyakitkan.

Satu minggu setelah putus dihabiskan dengan menangis sepanjang siang dan malam sampai ibunya ikut dirundung kesedihan. Althea berusaha kuat, berusaha menahan diri agar tidak lagi menitikkan air mata, setidaknya sampai dia punya momen sendirian. Tapi segala hal di sekitar seolah menjadi pemantik yang membuatnya terus teringat sosok Adimas. Foto yang mereka ambil saat sedang Sunday date di kastil tidak lagi dipajang di atas meja, semua hadiah yang Adimas berikan selama mereka berpacaran sudah dipindahkan ke gudang, begitu pula seluruh surat cinta bernada manis penuh rayuan romantis yang segera Althea masukan ke dalam kotak kayu jati.

Pikirannya menyuruh Althea untuk membakar hangus surat-surat itu; tapi hatinya tidak akan pernah sanggup. Di kamar kosnya, ketika rasa rindu tak lagi bisa dibendung, Althea akan membuka kotak tersebut dan mulai membaca surat di dalamnya satu per satu. Mungkin, di antara rentetan kalimat yang Adimas tulis rapih itu, beberapa di antaranya memang dimaksudkan dengan ketulusan tanpa sedikitpun kepura-puraan. Althea hanya tidak tahu yang mana di antara ratusan surat itu yang memang mewakili perasaan Adimas dengan tulus.

Secara khusus, ibunya meminta agar Althea tidak membuang surat-surat itu, serta tidak menghapus foto dan video yang pernah diambil bersama Adimas setidaknya sampai dia benar-benar yakin kalau dirinya telah pulih. Althea ingat semua yang ibunya katakan—dia dipeluk sedemikian erat dan ditenangkan dengan kelembutan yang membuat hati ringkihnya menggeliat perih. ‘Lihatin semua foto dan videonya. Ingat momen yang pernah kalian lalui bareng-bareng. Tumpahin semua rasa sakitnya—bilang sama Tuhan supaya rasa cintanya perlahan dikurangi dan dihilangkan. Kakak, sayangnya ibu, anak cantik, anak baik, adukan semuanya sama Tuhan. Semua rasa sakit datangnya dari Tuhan; nggak mungkin kalau Dia nggak ngasih sepaket sama obatnya juga. Tuhan selalu ngasih yang paling baik buat umat-Nya.’

‘Tuhan sayang banget sama kakak ya bu?’ Althea mengatakan itu di tengah isak yang semakin tak terbendung. ‘Tapi kalau sayang kenapa malah ngasih rasa sakit kayak gini? Kan Tuhan itu maha menghendaki apapun, tapi kenapa Dia nggak ngebuat Adimas berubah dan jadi jodoh kakak aja? Padahal kakak tulus sayang banget sama Adimas; kakak udah berkorban banyak buat dia. Tapi kenapa Adimas nggak pernah bisa mencintai kakak, ya? Ibu… hati dada kakak sakit banget bu. Kakak udah shalat, udah berdoa, tapi kenapa susah banget ya buat mengikhlaskan Adimas?’

‘Wajar sayang, semuanya butuh proses.’

Dari balik pintu, Alisya berdiri sambil menangis. Dia berlari menghampiri—memeluk Althea yang terlihat begitu ringkih. ‘Kakak… kamu itu kuat. Lisya yakin kalau kakak pasti bisa melalui cobaan ini.’

Proses move on bergerak naik-turun kayak roller coaster yang tidak bisa diprediksi. Entah berapa kali keyakinan Althea harus dipatahkan oleh kenyataan kalau bayang-bayang Adimas selalu bisa membuat jalan kembali; bahkan menjelma menjadi sesosok kokoh tanpa kekurangan yang membuat hatinya kembali patah. Selama dua tahun Althea menjalani hidup kelam yang diwarnai setumpuk kegagalan; dia masih mengusahakan beragam hal yang sekiranya bisa divalidasi oleh Adimas. Padahal pria itu tidak akan peduli.

Adore YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang