Chapter 8

442 84 16
                                    

Halo~

Getting older is so much more challenging ya. Sehat-sehat para readers yang sudah membersamaiku selama ini. Love you more than ever!

❄️
❄️
❄️

True love is not a hide and seek game: in true love, both lovers seek each other.
—Michael Bassey Johnson—

Senyum Althea tergores tipis saat ibu Atzel sama sekali tak memeluknya ketika mereka berdua tiba di bandara Soekarno-Hatta. Selama beberapa saat otaknya maish berusaha berpikir positif, mungkin sang ibu mertua cuma mau melepas rindu dengan putra semata wayangnya dulu. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Kemudian tengah malam; dan ibu mertuanya hanya menyapa Althea dua kali sejak mereka tiba di kediaman Keluarga Bachtiar sore tadi. Ini bukan hal baru, tapi rasanya tetap menyakitkan.

“Sayang, are you okay?” Atzel yang baru keluar dari kamar mandi segera menghampiri dan duduk di tepian kasur sambil membelai rambut pendek Althea. Rambut kelimisnya ditarik ke belakang—memperlihatkan kening yang jarang Althea lihat kecuali sehabis mandi atau berolahraga.

“Cuma capek aja,” jawab Althea sembari membawa tangan Atzel ke pelukan, lalu mengecupnya beberapa kali. Dia tidak akan bilang kalau penyebab utama di balik kesedihannya adalah sang ibu mertua—sebab itu akan menyakiti Atzel juga. “Kamu masih mau ngobrol sama mummy dan papi kamu? Mereka kayaknya belum tidur.”

“Mereka lagi begadang sama nenek dan eyang. Paling ngomongin bisnis. Aku nggak begitu tertarik. Mending cuddling sama kamu, kan. Geser dong. Sayap kiri kan biasanya punya aku,” ucap Atzel, nada bicaranya sangat lembut. Althea memang tidak bilang alasan di balik ekspresi murung tersebut, tapi Atzel itu sangat peka. Dia tahu kalau hubungan Althea dan ibunya masih jauh dari kata rukun. Mereka tidak pernah secara terang-terangan berdebat, tapi treatment yang ibunya berikan terhadap Althea sudah cukup menjelaskan kalau wanita itu memang belum sepenuhnya diterima. “Besok pagi kita bisa pulang ke rumah sendiri. Aku udah bilang ke mummy dari kapan tahun kalau misalnya udah nikah, aku nggak mau tinggal di rumah orang tua. Terus lusa kita juga mau ke Bandung kan. Oh, kamu masih mood buat ke Bali, kan? Kalau capek, kita nggak usah pergi.”

“Ngaco kamu!” sanggah Althea—dia sampai bangun dari tidurnya. “Kita kan udah booking hotel. Jangan suka ngegampangin uang. Kan nyarinya susah.”

“Hahaha... iya, iya, sayangku. Jangan pakai mukul segala dong,” ucap Atzel berusaha menahan pukulan pelan dari Althea. “Tapi aku seneng deh karena kamu udah bisa ngambek lagi. Sejak ketemu Adimas di toko buku, kayaknya kamu jadi lebih banyak diem.”

Kening Althea berkerut. Ekspresinya agak tegang. Dia memang tidak mengatakan apapun tentang pertemuan kedua dengan Adimas, menurutnya itu tidak perlu. Tapi fakta kalau Atzel tahu dan menyimpan informasi itu justru membuat Althea merasa seperti pengkhianat.

“Aku ngerti kok alasan kenapa kamu nggak bilang. Pasti susah ya fathom with such a fact. I do understand, Tee. Kamu nggak mungkin secara sengaja nyembunyiin dengan maksud buruk. Aku malah merasa bersalah karena nggak bisa datang lebih cepat. Maaf ya karena udah menciptakan momen yang ngebuat kalian berdua kembali ngomongin banyak hal.”

Reaksi pertama yang Althea berikan adalah menangis. Sontak dia memeluk Atzel—membenamkan muka di pelukan hangat yang selalu membuatnya lebih tenang. “Tadinya aku nggak mau bikin kamu mikir yang enggak-enggak. Lagian di antara banyaknya kota, di antara ratusan negara, kenapa Adimas harus ada di Oxford sih? Dan kenapa dia harus nyapa aku? Kenapa dia nggak menghindar? Padahal di dunia ini, nggak ada orang yang lebih pandai menghindar daripada Adimas. Dia seharusnya menghindari aku sebagaimana selalu dia lakuin tiga tahun ini. Sorry for ranting about it. Aku nggak tahu kenapa masih aja ngerasa marah sama Adimas. I just want to live my life; and I don't wish to include him on it.

Adore YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang