Chapter 14

443 65 16
                                    

Halo, it's been a while. Hehehe

Cerita sebelah kan agak berat tuh genrenya, kita lemesin pakai Adore You yang lebih light dan sweet ya. Enjoy~~~

❄️
❄️
❄️

“Once upon a time there was a boy who loved a girl, and her laughter was a question he wanted to spend his whole life answering.”
—Nicole Krauss—

Musim semi tahun ini datang sedikit lebih lambat. Tiga bulan berada di dalam tim yang sama dengan Adimas tidaklah seburuk yang Althea kira. Mungkin lebih tepatnya, dia mencoba untuk mengabaikan segala macam ketidaknyamanan yang ditimbulkan tingkah laku ‘Si Bunglon Haus Perhatian’. Itu sebutan yang Atzel sematkan setelah satu bulan penuh mendengar keluh-kesah dan balada penelitian Althea yang jadi sedikit lebih rumit karena kehadiran Adimas. Suaminya itu pernah bertemu dengan Adimas sekali dan hanya menelengkan mata tanpa mengatakan apapun.

‘Bicara sama Adimas itu cuma buang-buang waktu. Lebih baik aku lihat muka kamu aja. Sini cium dulu,’ begitulah kira-kira yang Atzel katakan sore itu. Dia mengecup pipi Althea sebelum menghidupkan mesin mobil dan membawanya ‘kencan’ ke Sainbury’s seperti biasa.

Setelah menikah, grocery shopping menjadi kencan dan metode pelepas stress yang cukup ampuh. Terutama kalau Atzel yang membayar semua billnya—Althea memang belum bisa menghasilkan uang sebanyak itu. Untuk sekarang, gaji yang dibayarkan kampus memang hanya cukup untuk membayar listrik dan membeli kopi. Bahkan kalau dia sudah menjadi pegawai tetap pun, untuk bidang yang dia geluti, uang yang dihasilkan tetap tidak bisa sebesar gajinya Atzel.

Tapi, setiap kali Althea mengungkit hal itu, Atzel akan langsung memeluknya sambil mengutip kalimat Nicole Krauss: ‘‘Once upon a time there was a boy who loved a girl, and her laughter was a question he wanted to spend his whole life answering.’ Aku seneng kalau lihat kamu belanja, terus masak, dekor rumah, atau membelajakan uangku kayak gini. Tolong pakai aja. Aku enggak bisa mengelola uang; tapi kamu kan pinter banget mengelola keuangan. Jadi ya udah terserah aja mau dipakai buat apa. Asal jangan dipakai minum-minum aja—soalnya dosa. Love you. Sini peluk. Lebih deket lagi.’

Tapi sore ini Atzel agak aneh. Dia tidak mengatakan apapun. Sejak tiba di rumah, pria itu langsung membantunya menyiapkan makan malam bahkan menawarkan diri untuk membereskan rumah sendirian. Katanya supaya Althea tidak kecapekan. Tapi ini kan jumat malam, kenapa Atzel harus membereskan rumah sekarang padahal mereka bisa melakukannya besok pagi atau siang? Althea masih mengamatinya—sengaja tidak mengatakan apapun bahkan sampai mereka selesai mandi dan duduk santai di ruang keluarga.

“Kamu kok diem terus? Kayak lagi nahan bisul aja,” celetuk Althea sembari mengusak rambut Atzel—pria itu hampir selalu berbaring di pangkuannya. Bahkan ketika mereka sedang agak bersitegang sekalipun, setidaknya dua menit, Atzel akan meminta Althea untuk memeluknya.

“Hmmm,” responnya kering dan canggung.

“Jujur sekarang,” kata Althea lebih mirip sebuah perintah.

“Tapi janji dulu kamu enggak akan marah,” sahut Atzel, kali ini dia bangkit dan langsung duduk bersila. Bahkan dia juga menyodorkan kelingkingnya ke muka Althea. Wajahnya tampak serius dan polos pada waktu bersamaan.

“Spill.”

“Aku beli game baru harganya seribu pounds. Maafin aku sayang! Aku janji enggak akan beli game lagi sampai akhir Juni tahun ini!”

Itu pengakuan tercepat yang pernah Althea dengar. Saking cepatnya Atzel bicara, dia bahkan tidak sempat memproses semua informasinya sekaligus. Game. Seribu pounds. Akhir Juni. Itu jumlah yang lumayan—apalagi hanya untuk game dan Atzel juga bukan gamer profesional. Akan tetapi, dibandingkan saat masih lajang, sekarang Atzel jelas sudah berhasil mengontrol diri agar tidak mengeluarkan uang terlalu banyak untuk kebutuhan tersier. Apalagi secara impulsif.

Adore YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang