Chapter 4

711 115 20
                                    

Guys, please leave a few comments ya. Biar semangat. Hehehe

Dan ini nggak terlalu kid friendly ya. Iykyk

❄️
❄️
❄️

“Speak to me: I will spend my lifetime trying to understand you.”
—Kamand Kojouri—

Langkah Althea yang cepat terhenti saat matanya menangkap sosok Atzel sedang berdiri dengan kepala tunduk di depan rumah. Pertemuan dengan Adimas berlangsung singkat. Althea hanya melempar senyum, menjawab satu pertanyaan ‘Kamu sehat?’, lalu segera pamit ketika bus yang ditunggu tiba lebih cepat. Setelah itu pikirannya langsung berlari mencari Atzel; ingin mengutarakan maaf karena sudah menyalahpahami niat baiknya.

Tapi saat pria itu sudah berdiri hanya beberapa meter dari tempatnya saat ini, Althea justru merasa ragu. Untuk beberapa detik dia mematung. Jantungnya seketika berdebar kencang begitu tatapannya dan Atzel bertemu. Bibirnya menggumamkan nama Atzel—begitu pelan dan nyaris tanpa suara. Rasa gugup yang semula mencengkeram seketika runtuh saat Atzel berjalan menghampiri dan segera merengkuh tubuhnya.

“What did take you so long, Tee?” Atzel bertanya dengan suara rendah.

“The traffic,” jawab Althea jujur. Perbaikan jalan selalu menguras banyak waktu di jalan. “Atzel udah lama nunggu di luar? Pipinya dingin banget. Kita masuk ya? Ngobrol di dalam aja. Dingin banget di sini.”

Tee... maafin aku.”

Althea mematung mendengar ucapan Atzel.

“I was being too harsh. I’m so sorry,” ulang Atzel sekali lagi. Tangannya meraih tangan Althea—mengecupnya dua kali sebelum menempelkan tangan yang dingin itu ke pipinya. “Padahal kamu cuma mau ngerawat aku, tapi responku terlalu keras. Aku mikirin itu dari tadi. Dan semakin aku pikirin, semakin aku sadar betapa jahatnya perlakuanku ke kamu beberapa jam lalu. Kamu nggak harus maafin aku sekaligus. Aku salah, Tee.”

“And so am I, Tzel,” sahut Althea seketika. Tatapannya terkunci di antara mata gelap Atzel, membuatnya menelan ludah saat dia menyadari jika dirinya menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar tatapan. “It’s cold outside. Should we go in?”

Tanpa penolakan, Atzel berjalan di belakang Althea. Begitu pintu ditutup, dia segera merengkuh Althea, membenamkan wajah di antara ceruk leher istrinya. Panas tubuhnya sudah kembali normal—sebelum mengalami kenaikan signifikan yang disertai debaran jantung kencang. Althea bisa membedakan bahwa kenaikan suhu tubuh Atzel jelas bukan disebabkan oleh demam. Lalu sentuhan yang Atzel berikan di sepanjang punggung Althea juga menambah lebih banyak bukti bahwa tubuhya bergejolak karena alasan lain.

“I’ve been thinking of it for awhile, ucap Althea. Jantungnya berdebar kencang saat tatapan Atzel menyapu wajah dan bibirnya. Seolah Atzel sedang mencumbu dirinya hanya dengan sorot mata sayu dan memikat. “I’ve been thinking... of having a proper husband and wife relationship with you. That you don’t have to hold yourself that hard; and it applies for many ways. If you want me to stay, you must tell me. If you need my attention, you must tell me. And if  you... if you want me, if that is what you want, then just go for it.”

Atzel memahami apa yang Althea ucapkan dengan jelas. Tatapan yang diberikan begitu memikat dan menjerat; Althea tidak bisa berpaling barang sedetikpun. Jemarinya menyusuri punggung Althea hingga ke bawah—menyentuh bagian yang membuat wanita itu sedikit tersentak. Atzel mengecup pipi dan bibir Althea; meninggalkan sentuhan lembut yang hangat dan menyenget. Terlepas dari tindakannya, Atzel tetap mengatakan, “Make it very clear, Tee.”

Adore YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang