30. Kebersamaan yang Kembali Terulang

83 25 0
                                    

Sore itu, Vee terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia mengerjap pelan, memandang sekeliling. Rupanya ia sudah berada di dalam kamar. Dengan malas ia bangkit dari ranjang, lalu turun sambil mengusap perutnya yang terasa kosong.

“Capek banget badan gue... mana laper lagi,” gumamnya sambil berjalan keluar kamar, langkahnya sedikit terseok karena masih ngantuk.

Tujuannya cuma satu: dapur. Apapun yang bisa dimakan, bakal dilahap tanpa pikir panjang.

Tapi belum sempat ia sampai ke dapur, langkahnya langsung dihadang dua manusia curut: Karel dan Areksa berdiri tepat di hadapannya dengan ekspresi misterius.

“Kenapa dihalangin? Gue mau lewat, kampret!” Vee berdiri dengan tangan berkacak pinggang, alisnya bertaut kesal.

“Lo mau ke mana hah?!” Karel melotot sinis sambil menyilangkan tangan di dada.

“Ke dapur lah! Minggir!” bentak Vee, mencoba mendorong mereka tapi percuma—dua-duanya keras kepala dan kuat.

“Ngapain?” tanya Reksa sambil menyipitkan mata, curiga.

“Gue laper! Pengen makan! Lo mau gue mati kelaperan apa!?” Vee hampir meledak, suara perutnya seolah jadi backing vocal kemarahannya.

Karel langsung menggandeng tangan adiknya dan menyeretnya duduk di sofa. Vee meronta sedikit, tapi kalah tenaga.

“Yaudah yaudah, gue duduk. Tapi jangan aneh-aneh,” gerutunya, pasrah.

“Makanan datang!!” teriak Areksa dari arah dapur. Ia muncul dengan nampan penuh makanan dan minuman.

Areksa meletakkan semuanya di meja dengan hati-hati. Vee langsung memicingkan mata, mencurigai tingkah dua kakaknya yang tiba-tiba jadi terlalu perhatian.

“Kesambet apaan nih, tumben banget manis?” Vee menyipitkan mata, menatap dua lelaki itu bergantian.

Karel dan Areksa langsung duduk di samping Vee, senyum mereka begitu mencurigakan.

“Demi apa, jangan bikin gue bingung dong!” Vee mendesah, merasa kepalanya mulai penuh tanya.

“Kita perhatian gini karena pengen ponakan kita sehat-sehat, ya kan Sa!?” ujar Karel, yang langsung disambut anggukan semangat dari Areksa.

“Ponakan apaan sih!? Kalian ini ngomongin apa sih!?” Vee mulai panik.

“Tadi lo pingsan, terus dicek sama dokter katanya...” Karel mengulur kalimatnya, senyum lebar tersungging di bibirnya.

“Lo hamil,” bisiknya pelan, tepat di telinga Vee.

Mata Vee langsung membulat. Ia mundur sedikit, menatap kakaknya dengan ekspresi tak percaya.

“Ah, jangan bercanda gitu dong! Nggak lucu, sumpah!” Vee menggeleng-geleng, suara gemetar.

“Lah siapa yang bercanda? Nih liat muka gue baik-baik, ada aura guyon nggak?” Karel menunjuk wajahnya dengan serius.

Vee mengamati lekat-lekat. Dan benar, tak ada guratan bercanda di situ.

“Jadi beneran gue hamil sekarang?” gumamnya lirih, jari telunjuknya menunjuk ke arah dirinya sendiri.

“Iya, sumpah kita nggak bohong!” tegas Areksa sambil mengangguk keras.

“AAAAAAAAAA!!! Gue mau jadi ibu, bang!!” teriak Vee histeris, setengah berdiri dan hampir melompat.

Untung saja Areksa dan Karel sigap menahan bahunya sebelum ia bikin atraksi salto.

“Buset! Jangan salto gila! Nanti anak lo ikutan salto terus lahir-lahir mirip Ronaldo!” omel Karel, geleng-geleng kepala.

ALENZA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang