“Aku merindukan segala tentang kita, tapi kebersamaan kita telah sampai pada batasnya. Lantas apa lagi yang harus aku pinta pada sang Pencipta selain ikhlas atas berakhirnya kita? Aku mencintaimu, tapi semesta merebutmu dariku.”
-Faradisa Renjani-
🍂🍂
"Mbak, kenal sama orang itu?" Rahma bertanya saat Disa masuk ke dalam toko.
Disa meletakkan tas selempangnya di atas meja tempat Rahma dan Dwi merangkai bunga, tepatnya di sebelah alat kasir. Disa menggelengkan kepalanya, toh memang benar ia dan pria bernama Hafidz itu hanya kenal sebatas nama mereka masing-masing saja.
"Kayaknya Mas-Mas yang tadi suka deh sama Mbak Disa," ucap Dwi yang baru saja meletakkan beberapa tangkai bunga baby breath dan juga mawar putih yang cantik.
Disa mengangkat bahu acuh. "Suka apa? Dia cuma sengaja ganggu saya aja kok,” jawab Disa sekenanya. Ia tidak mau berharap lebih kepada seseorang, tidak ada laki-laki yang akan menerimanya yang masih terluka dan terjebak dalam kenangan ini.
Ia tidak mau jika pada akhirnya, ia akan dicampakkan karena dirinya yang seperti itu.
Dwi, dan Rahma saling pandang lalu menghela napas. Dwi melanjutkan kegiatannya yang tengah merangkai bunga itu. Bunga baby breath dan mawar putih itu untuk Disa, karena mereka sudah hafal kalau di hari ini Disa akan mengunjungi makam mendiang Sandi. Baby breath dan mawar putih itu, adalah bunga yang sering di beli oleh sandi untuknya, yang tentu memiliki makna yang mendalam bagi mereka berdua.
"Mbak Disa, sudah tiga tahun, ya?" tanya Dwi yang masih menata bunga-bunga itu.
Disa mengangkat wajah, benar ia juga sudah terlalu lama berkabung. "Iya, Wi. Tapi rasanya masih baru kemarin, dada saya masih sesak setiap kali mengingat semua kejadian yang menimpa hidup saya." Tanpa terasa air matanya mulai mengalir.
Disa yang ditinggalkan secara tiba-tiba oleh mendiang Sandi tentu bak terjatuh dalam dunia yang sangat gelap, Disa benar-benar sendirian. Ia yang rapuh, dan lemah harus tetap kuat karena bagaimana pun, hidup terus berjalan meski cinta dan sayangnya sudah habis untuk Sandi Antawijaya yang meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Dwi dan Rahma tentu menjadi saksi bagaimana Disa yang ramah, dan ceria itu begitu hancur dengan kabar kecelakaan Sandi, dan bagaimana terpukulnya Disa sendirian. Bahkan setelah tiga tahun berlalu, duka itu masih menyelimuti hati Disa sampai hari ini, atau bahkan sampai waktu yang tidak bisa di tentukan.
"Mau pergi sekarang, Mbak?" tanya Dwi seraya memperlihatkan buket bunga yang sudah selesai di rancangnya itu kepada Disa.
Disa mengusap air mata dengan telapak tangannya. "Terima kasih ya, Dwi."
"Sama-sama, Mbak." balas Dwi.
"Mbak, mau saya temani?" tanya Rahma.
Disa menggeleng, "Tidak perlu, saya akan pergi sendirian saja ke sana. Saya tolong titip toko sama kalian dan yang lainnya dulu ya."
Rahma dan Dwi mengangguk. Sungguh hati mereka juga sangat sedih melihat Disa yang terus berkabung sampai saat ini, namun tidak ada yang bisa mereka berdua lakukan selain memberikan semangat dan mendoakan agar Disa terus bahagia dan menemukan laki-laki yang tepat untuk menyembuhkan luka di hatinya.
Faradisa mengambil buket bunga itu dari Dwi, dipandanginya dua jenis bunga yang cantik di tangannya itu. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan memberikan bunga-bunga ini ke atas pusara makam tempat peristirahatan terakhir Sandi.
Rahma dan Dwi mendekat dan memberikan pelukan pada Disa. Bagaimana pun, hanya ini yang bisa mereka lakukan sebagai bentuk dukungan dan semangat untuk seorang Faradisa Renjani yang memeluk lukanya sendirian.
"Terima kasih ya semuanya,” Disa tersenyum kepada Rahma dan Dwi yang tampak hampir menangis. Ia tahu jika kedua pegawai yang sudah seperti saudaranya ini turut merasakan kesedihannya.
Inilah alasan mengapa Faradisa menutup diri setelah kepergian Sandi. Ia tidak ingin membuat orang lain turut bersedih, biar ia saja yang merasakan semua sakit itu.
Kemudian Rahma juga memberikan satu keranjang kecil bunga mawar putih lagi kepada Disa, untuk mendiang kedua orang tua Faradisa tentunya yang tak jauh dari makam Sandi.
"Nggeh, Mbak. Mbak Disa hati-hati di jalan ya." Kata Rahma dan Dwi.
Disa mengangguk, lantas memakai tas selempangnya. Rahma dan Dwi lantas mengantar Disa sampai ke depan toko."Mbak kalau ada apa-apa, bisa telepon saya, atau Dwi, ya, Mbak." Kata Rahma.
Disa sekali lagi mengangguk, lalu pamit setelah membunyikan klakson dan mulai meninggalkan toko bersama sepeda motornya yang melaju dengan kecepatan sedang.*****
"Ini lho Jeng, aku tuh lagi pusing sama si Hafidz. Usianya udah hampir kepala tiga, tapi kayaknya anak itu belum ada tanda-tanda memiliki calon istri."
Aprilia, ibu dari Hafidz tengah melakukan video call bersama sahabat lamanya, yang kini tinggal di Singapura. Ibu satu anak itu tengah curhat tentang keresahannya kepada sang putra yang tak kunjung memiliki calon istri. Entah perempuan seperti apa yang tengah di cari oleh putranya itu, sampai saat ini masih saja belum menemukannya. Huft, mengurus anak laki-laki memang tidak mudah.
"Selama ini, kamu ngawasin Hafidz juga, kan? Apa belum ada tanda-tanda kalau Hafidz tertarik pada lawan jenis?"
Aprilia menggeleng, seraya bersandar pada sofa dan bersedekap dada. "Nggak ada, Jeng. Aku khawatir lho, sampai berpikiran kalau anak aku itu g*y."
"Astagfirullah, April! Nggak baik lho seperti itu."
Aprilia menghela napas, "Iya sih. Tapi ya, kamu tuh nggak ngerti gimana pusingnya aku karena si Hafidz. Apalagi sekarang jabatannya udah tinggi, otomatis ia makin sibuk, makin susah dong buat cari calon."
"Kamu tahu Faradisa Renjani kan, Pril?"
Aprilia yang semula bersandar pada sofa itu, mengubah posisinya menjadi duduk tegak dan menatap tab nya yang menunjukkan wajah sahabatnya, dengan latar ruang tamu.
Faradisa Renjani. Ia tahu orang itu, perempuan itu adalah calon istri mendiang putra dari Diandra. Ya, orang yang tengah berbincang dengannya melalui panggilan video itu adalah Diandra, ibu dari mendiang Sandi yang merupakan sahabatnya sejak zaman SMA sampai Kuliah, dan sampai sekarang.
"Disa perempuan yang baik, Pril. Aku nggak mungkin memberikan kamu calon menantu sembarangan."
Masih belum ada tanggapan dari Aprilia, pikirannya seolah telah penuh oleh nama Faradisa Renjani. Se-sempurna apa memangnya sosok Faradisa Renjani sampai Diandra sangat menyayangi sosok itu seperti anaknya sendiri.
"Kamu bisa temui dulu Faradisa, jika ingin tahu. Tapi aku jamin, kalau Faradisa perempuan yang baik untuk Hafidz." Diandra kembali berucap kala belum mendapatkan jawaban dari sahabatnya.
"Kenapa rasanya kamu ngotot sekali agar Faradisa bisa dengan Hafidz?"
Diandra tampak mengulas senyum tipis, dan kembali menatap sang sahabat dengan sendu. "Aku ingin Faradisa bahagia, Pril. Sudah cukup selama tiga tahun ini ia terus berkabung karena kepergian Sandi. Aku ingin Disa tahu, jika ia juga pantas bahagia."
"Kalau begitu, bukankah rasanya sangat egois, Di? Kamu mengumpankan Hafidz untuk menjadi penawar luka perempuan itu. Bukankah sama saja artinya Hafidz mencintai Disa sendirian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SINCERITY OF LOVE [TERBIT] ✓
RomanceTidak pernah ada yang baik-baik saja setelah ditinggalkan orang yang kita cintai. Faradisa Renjani, sang pemilik toko bunga 'Disa's Florist' hanya menghabiskan waktunya sendirian di dalam toko, dan tempat-tempat sepi seolah enggan berbaur dengan ban...