TIGA PULUH EMPAT || KECEWA

461 35 5
                                    

"Kembali ke tempat yang penuh dengan kenangan itu bukan berarti belum sepenuhnya melupakan masa lalu, tapi justru dengan hal itu membuat hati menjadi mengerti rasa terima kasih atas tulusnya cinta di kala itu."

-Faradisa Renjani-

🍂🍂🍂

W

ritten By: nonamarsanda

Dengan keadaan emosional yang sudah memuncak, Hafidz menancapkan pedal gas mobilnya keluar dari pekarangan rumah dengan kecepatan tinggi. Disa melihat ke arah Hafidz yang menyetir mobilnya dengan rahang yang mengeras, ia memilih mengusap lembut lengan Hafidz, mencoba menenangkannya sebisa mungkin.

Jalanan yang ramai tidak membuat Hafidz menurunkan kecepatannya, alih-alih mengurangi kecepatan, suaminya iti justru semakin menambah kecepatan mobilnya lebih tinggi. Disa sendiri sudah tampak sangat ketar-ketir di posisi sekarang. Tapi tiba-tiba saja di depan mobil Hafidz terdapat truk bermuatan berat yang memotong jalan Hafidz sehingga Hafidz harus membelokkan mobilnya agak cepat di gang kecil yang berada di tengah-tengah perjalanan kota, hal itu tentu membuat Disa ikut terkejut dan merapalkan doa sebisanya.

Napas Disa memburu, ia masih sangat terkejut dengan kejadian yang hampir saja membuatnya dengan Hafidz celaka. Hafidz lantas menghentikan mobilnya di tepi jalan dan langsung menarik Disa ke dalam pelukannya. Rasa bersalah benar-benar meliputi dirinya.

"Mas ...." panggil Disa sembari mengusap punggung suaminya pelan.

"Mas minta maaf sayang. Mas tidak ada maksud berbuat seperti itu tadi," lirih Hafidz menangis di pelukan Disa.

Disa membalas pelukan sang suami. "Iya, Mas. Disa paham dengan posisi mas Hafidz sekarang. Ini semua juga karena Disa. Seandainya saja tadi Disa pergi sendiri pasti mas Hafidz tidak akan seperti ini sekarang," balas Disa meneteskan air matanya.

"Stop menyalahkan diri kamu sendiri, tidak ada yang salah di sini, sayang. Kita hanya di uji sekarang dengan lewat perantara ibu," kata Hafidz sambil menghapus air mata sang istri tercintanya.

"Tapi, mas--"

"Sudah, sayang. Sebaiknya kita memikirkan kehidupan rumah tangga kita ke depannya, sayang. Jangan pernah meninggalkan mas dalam keadaan apa pun karena kamu adalah sumber kekuatannya mas," potong Hafidz cepat.

Disa mengangguk dalam pelukan suaminya. Tentu saja, ia tidak akan pernah meninggalkan pria ini. Karena hanya pria ini yang ia miliki di dunia ini.

Setelah di rasa Hafidz tenang, ia pun melanjutkan perjalanannya untuk ke apartemen miliknya yang satu-satunya tempat tujuan mereka sekarang karena di sanalah mereka akan melanjutkan kehidupan rumah tangga mereka berdua setelah ini.

Tanpa terasa, mobil Hafidz masuk ke dalam pekarangan dengan bangunan yang cukup besar dan mewah. Hafidz membantu Disa turun terlebih dulu sebelum mengambil kedua koper di dalam mobil, Disa terpana melihat bangunan apartemen milik Hafidz yang bisa dibilang lebih dari sekedar mewah.

***

Satu minggu berlalu begitu saja, Disa dan Hafidz melanjutkan perjalanan rumah tangga mereka yang bertempat tinggal apartemen milik Hafidz yang berjarak lumayan jauh dari rumah sang Ibu.

Sejak malam itu, Hafidz lebih memperhatikan hal-hal kecil dari istrinya. Selama satu minggu ini pun, Hafidz meminta istrinya Disa untuk lebih menjaga jarak dengan sang Ibu untuk sementara waktu, bukan apa-apa hanya saja Hafidz tidak ingin lagi ada pertengkaran di antara keduanya. Sungguh, Disa dan ibunya sama-sama orang yang sangat berarti, dan ia cintai. Ia tidak pernah bisa memilih antara keduanya.

Hafidz bersiap-siap untuk ke kantor hari ini, karena dirinya harus menghadiri meeting kerja sama proyek besar dengan perusahaan lain. Baru saja Hafidz ingin turun menemui istrinya untuk sarapan pagi, ternyata Disa sudah datang lebih dulu ke kamar untuk memanggilnya seperti biasa.

"Mas," panggil Disa menghampiri Hafidz berdiri tak jauh dari pintu kamar.

"Eh, Mas baru saja mau panggil kamu buat sarapan lho."

Disa menyinggung senyumnya tipis menunjukkan deretan gigi putihnya, "Sudah, ah. Ayo sarapan dulu, nanti terlambat loh," ucap Disa sembari menarik lengan Hafidz pelan.

Selesai sarapan bersama, Hafidz dan Disa berangkat untuk bekerja. Meski pun jarak toko bunga Disa lebih jauh dari apartemen dan membuat Hafidz harus putar balik, Hafidz tetap mengantarkan Disa hingga sampai di toko bunga milik istrinya dengan selamat. Karena bagi Hafidz, keselamatan istrinya adalah hal yang paling utama dari pekerjaannya di kantor sekali pun itu sangat penting

"Mas, Disa berangkat dulu," ujar Disa sembari meraih tangan Hafidz dan menciumnya khidmat.

Hafidz memberikan hujan kecupan di seluruh permukaan wajah Disa dan terakhir di tangan kanan Disa, "Iya, sayangku, cintaku, cantikku, ratunya Hafidz Nugraha," kata Hafidz tersenyum manis.

"Ih kebiasaan," balas Disa yang mulai dari satu minggu kemarin mendapatkan lebih banyak kata-kata manis dari Hafidz suaminya.

"Gapapa, dong. Aku suami kamu sayang," sahut Hafidz seperti biasa.

Disa memutar bola matanya malas dan memilih untuk segera ke toko saja dari pada terkena serangan jantung karena kata-kata manis dari suaminya itu. Hafidz membukakan pintu mobilnya untuk Disa seperti biasanya, tentu hal itu juga mendapatkan sapaan dari para pegawainya. Setelah melihat mobil Hafidz sudah tidak terlihat lagi, Disa segera masuk ke toko untuk membantu para pegawainya.

"Mbak, hari ini jadi ke makam?" tanya Rahma melihat Disa berdiri di depan buket-buket bunga yang sudah siap kirim ke peminangnya.

Disa mengangguk samar, "Sepertinya begitu, Rahma. Kamu sudah menyiapkan bunga yang saya minta kemarin?" tanya Disa yang diangguki cepat oleh Rahma sembari menunjukkan buket bunga yang biasanya dibawa oleh Disa untuk berziarah ke makam.

Sambil menunggu taksi datang, Disa memberikan kabar kepada Hafidz untuk izin keluar sejenak. Awalnya Hafidz kekeuh untuk mengantarnya tapi Disa menolaknya dengan alasan taksi online pesanannya sudah datang menjemputnya, pada akhirnya Hafidz pun meminta pada Disa agar salah satu pegawainya menemaninya untuk keluar, entah Rahma atau Dwi.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di tempat pemakaman umum. Disa memasuki area pemakaman yang tak lupa menenteng buket bunga yang dibawanya tadi dari toko.

Disa berdiri di depan makam yang sudah rata dengan tanah lengkap dengan rumput-rumput kecil melengkapinya yang dulu hanya berwujud gundukan tanah. Disa meletakkan buket bunga tersebut di atas papan kayu putih bertuliskan tinta hitam yang dulunya pekat dan kini sudah mulai pudar itu dengan nama Sandi di sana.

Seketika Film-film hitam putih kembali berputar di sana pikirannya. Disa tentu masih mengingatnya dengan jelas tapi mau sekeras apa pun dirinya untuk meminta atau pun menolaknya tidak akan pernah bisa diulang. Semuanya sudah selesai.

Disa menatap dalam dan perlahan mengusap pusara mending Sandi, "Selamat ulang tahun, Mas," kata Disa yang tak terasa air matanya sudah berlinang membasahi kedua pipinya.

"Takdir kita memang tidak untuk hidup bersama, Mas. Tapi terima kasih, berkat kamu aku menjadi mengerti apa itu cinta yang berakhir dalam keabadian. Maafkan aku, mas. Aku mencintai laki-laki pilihan Mama kamu yang itu sangatlah jauh dari prediksiku sebelumnya," ujar Disa.

"Dia Laki-laki yang baik, sangat baik. Aku mencintainya, Mas. Doakan agar kami bisa bersama selamanya." Disa lalu menghela napas, mengusap batu nisan dengan jemarinya yang lembut. " Aku harap kamu mendapatkan apa yang seharusnya memang kamu dapatkan, mas. Sekali lagi aku mengucapkan selamat ulang tahun buat kamu," sambung Disa sembari menghapus air matanya.

Setelahnya, Disa menaburkan bunga yang sebelumnya ia beli di depan area pemakaman tadi. Mau bagaimana pun juga, Sandi sempat berperan penting dalam hidupnya.

Tanpa Disa sadari, ada sepasang mata menangkap momen di mana Disa tengah duduk berjongkok di depan makam Sandi. Seseorang itu menatap Disa dengan kekecewaan yang mendalam, seraya mengepalkan kedua tangannya.

SINCERITY OF LOVE [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang