36. Pergi Bersenang-senang

74 22 0
                                        

Tengah malam itu, Dava berpamitan dengan keluarganya. Ia bahkan enggan melepaskan pelukannya pada Vee.

Sementara itu, Vee sendiri sudah tak berhenti menangis. Ia benar-benar tak ingin Dava pergi malam ini.

“Astaga, udah dong... nanti Dava telat gimana!” seru Karel, kesal melihat drama di depannya yang makin menjadi.

Vee akhirnya melepaskan pelukan dengan berat hati. Dava menunduk, mengecup perut Vee lama-lama.

“Sayang... Daddy pamit dulu, ya. Nanti kalau kamu udah ketemu Daddy lagi, kita main bareng, oke?” bicaranya dengan membungkukkan tubuhnya di depan perut menonjol istrinya sembari memberikan elusan lembut diatasnya.

“Lho, kalian kan pasti ketemu lagi, Dav. Kenapa ngomongnya kayak gitu sih?” tanya Reksa heran.

Dava kembali berdiri tegak, dia cuma tersenyum tipis, menatap mereka semua dalam-dalam, seolah menyimpan sesuatu.

“Aku pamit, semuanya. Terutama buat istriku, jaga diri baik-baik selagi aku nggak ada.” ucapnya, lalu menciumi wajah Vee satu per satu, seolah ingin menyimpan kenangan terakhir.

“Lo yang kerja, harusnya aku yang bilang begitu. Jaga diri di sana, ya...” ujar Ve lirih, menggenggam tangan Dava dan menciumnya.

Dava balas mencium punggung tangan Vee—tepat di atas cincin pernikahan mereka.

“Hati-hati!” teriak Vee lagi, air matanya jatuh saat melihat Dava masuk ke mobil.

“Udah, jangan nangis terus.” Kara mengusap pipi Vee yang basah.

“Kemarin pas Dava pertama kali pergi, nggak segitunya lo nangisin dia.” celetuk Karel heran.

“Nggak tahu kenapa... gue pengen nangisin Dava aja sekarang.” jawab Vee, sesenggukan.

“Gue takut... takut pas lahiran nanti, dia nggak di samping gue...” bisiknya, menepis pikiran-pikiran buruk yang terus menghantuinya.

“Jangan ngomong gitu,” kata Gasya lembut, mengelus punggung adiknya.

“Dava udah janji sama gue, dia bakalan ada kok.” Vee menghapus air matanya sendiri, mencoba tersenyum.

“Pokoknya nanti pas Vee mau lahiran, Daddy harus kabarin Dava, ya!” pinta Vee dengan sungguh-sungguh. Nio langsung mengangguk mantap.

“Putri Daddy jangan nangis terus dong... nih, matanya jadi sembap kan.” Nio merangkul Vee erat.

“Gimana kalau besok kita jalan-jalan?” ajaknya, mencoba membangkitkan semangat.

“Setuju!” seru Karel dan Areksa kompak.

“Yang seharusnya semangat tuh Vee, bukan kalian!” sahut Kara sinis, meraup wajah mereka berdua.

“Kita ngewakilin Vee,” kata Areksa, disetujui Karel dengan anggukan semangat.

“Gue tampol mampus kalian!” Kara mengangkat tangan tinggi-tinggi. Keduanya langsung kabur terbirit-birit.

“Salah kita apaan coba...” cicit Karel, pasrah.

“Di mata gue, kalian tuh selalu salah.” sahut Vee ketus.

“Jahat banget jadi adik!” Areksa berkacak pinggang.

“Bodo amat!” balas Vee, memutar mata malas.

“Untung adik gue lo! Kalau bukan, udah gue kasih buat makanan buaya!” Kara menggeram, lalu mengejar mereka.

“Ayo kejar kalau bisa!” teriak Areksa sambil menggoyang-goyangkan pantatnya ke kiri dan kanan.

ALENZA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang