39. Dava-Duka Terakhir

124 24 1
                                    

Beberapa hari setelah Vee diperbolehkan pulang, rumah yang biasanya penuh suara dan tawa kini terasa sunyi. Aroma khas dapur buatan Karel tak lagi memenuhi lorong. Tidak ada lagi suara Vee yang berceloteh ceria sambil menggoda Kara. Semuanya hening… beku.

Dan di tengah keheningan itu, Nio memikul beban paling berat.

Ia jarang bicara. Sejak tragedi itu, ia tak pernah lagi menatap mata Vee. Saat berada satu ruangan, ia memilih berdiri jauh atau pergi lebih dulu. Bahkan untuk makan bersama pun, ia tak sanggup duduk berhadapan.

Kara memperhatikan semuanya diam-diam, lalu menegur pelan saat hanya berdua. “Daddy harus ngomong sama Vee. Daddy nggak bisa terus kayak gini."

Nio hanya menggeleng, matanya sembab.

"Daddy gagal, Kara. Daddy gagal jagain mereka. Aleva… Vee… semua luka itu karena gue terlalu percaya keadaan aman. Padahal jelas-jelas… Daddy punya firasat."

Kara mendekat dan menepuk bahunya. "Itu bukan salah Daddy. Kita semua ada di sana. Kita semua berjuang."

Nio melanjutkan, suaranya gemetar, "Daddy nyalahin diri gue tiap malam. Daddy denger suara Aleva. Daddy bayangin dia nangis dan nyariin Daddy buat ngajakin main. Kadang… Daddy takut tidur."

Keesokan harinya, Vee duduk di taman rumah. Ia memeluk jaket kecil milik Aleva. Pandangannya kosong, tapi damai. Seperti seseorang yang sudah melalui neraka dan memilih untuk tetap berdiri.

Nio melihat dari jauh, tapi ragu mendekat. Jari-jarinya bergetar, kakinya berat.

Vee melirik sekilas. "Daddy.”

Nio terdiam. Kaget mendengar namanya disebut.
"Daddy bisa duduk sini, kalau mau," ucap Vee pelan.

Dengan langkah lambat, Nio menghampiri dan duduk di sebelahnya. Lama mereka diam, hanya angin yang berbisik pelan di antara mereka.

Nio memejamkan mata. Air matanya jatuh begitu saja.

"Vee… maafin Daddy ya."

"Vee nggak marah."

Nio menoleh cepat. "Kenapa?"

"Aku cuma… sedih. Tapi bukan karena siapapun. Kita semua sedih, Dad. Dan nggak ada satu pun dari kita yang salah." Vee menoleh, matanya merah tapi lembut. "Aleva nggak pernah salahin siapa pun. Jadi jangan pernah berpikir kita harus jadi pahlawan.”

Nio tertunduk, bahunya berguncang hebat. Akhirnya ia menangis sejadi-jadinya, dan untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia membiarkan Vee menggenggam tangannya.

Sejak hari itu, mereka mulai bicara lebih banyak. Pelan-pelan, luka mereka tetap ada… tapi tidak membatasi hubungan keluarga mereka.

Keluarga itu masih berduka. Tapi mereka belajar berjalan berdampingan dalam kehancuran. Dan dari puing-puing rasa bersalah, mereka mulai membangun lagi—dengan jujur, dengan air mata, dan dengan tangan yang saling menggenggam, meski gemetar.

Satu hari setelahnya, mereka semua memutuskan untuk pergi mencari keberadaan Dava yang belum ditemukan.

“Ternyata bener kata Daddy, kamu perempuan... kayak yang pernah ditebak waktu kamu masih di perut Mommy.” Kalimat itu terngiang lagi di kepala Vee, begitu orang memanggilnya. Suara Dava, hangat dan penuh harap, kembali memukul pikirannya tanpa ampun.

Perjalanan mereka menuju lokasi pencarian terasa panjang. Saat matahari mulai condong ke barat, mereka akhirnya tiba. Vee langsung turun dari mobil dan mendekati deretan kantong jenazah yang dibaringkan dengan tertib di pinggir pelabuhan.

“Apa Dava... anak saya... udah ditemukan?” tanya Nio kepada petugas SAR dengan suara berat.

“Belum, Pak...” jawab sang petugas sambil menunduk, raut wajahnya penuh duka. “Hari ini kami bawa beberapa jenazah lagi, tapi... kebanyakan kondisinya rusak parah karena luka bakar. Susah dikenali.”

ALENZA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang