Lampung, 27 November 2021
Malam minggu seperti biasa, pondok mengadakan acara dalailan. Sekarang santri sedang ujian, jadi gak banyak waktu yang bisa dipake untuk ngumpulin mereka. Maka malam itu, saya putuskan untuk ucapkan perpisahan ke mereka. Saya pikir, ini waktu yang paling pas. Karena menurut info terakhir, saya berangkat tanggal 4. Masih seminggu lagi memang, tapi besok saja saya harus menyebrang ke Jakarta, buat bikin visa. Mungkin balik lagi ke Lampung nya kisaran tanggal 30. Itupun posisi masih capek abis bolak-balik perjalanan, pasti istirahat. Besoknya packing, tanggal 2 berangkat lagi ke Jakarta. Soalnya mau ke Serang dulu. Jadi, mau gak mau harus saya sampaikan malam ini.
Saya datang ke masjid jam setengah 9. Acara dalailan yang berisi doa-doa serta sholawat nabi ini biasanya selesai jam setengah 10 sampai jam 10 kurang beberapa menit. Sebelum saya memutuskan untuk menyampaikan, gak tau kenapa dada ini berat gitu, kayak ada rasa gugup dan canggung gitu. Padahal saya ngomong didepan santri sudah berkali-kali di berbagai kesempatan. Cuman kali ini mungkin gara-gara momennya yang lain, jadi perasaan saya ya berbeda juga.
Sambil menghela nafas, saya mulai "Assalamualaikum wr.wb. Saya ambil waktunya sedikit gak apa-apa ya. Ada sedikit informasi yang ingin saya sampaikan. Alhamdulillah saya sudah diterima di Turki dan akan berangkat minggu depan", kata saya mengawali.
"Alhamdulillah, akhirnya. Lebih cepat lebih baik!", kata salah seorang santri putra. Hahaha, kampret emang saya ucap dalam hati. Tapi ya, namanya juga manusia. Mau sebagus apapun tingkah lakunya, pasti akan muncul dua reaksi berbeda, entah itu positif atau negatif. Selagi kita ngerasa pergerakan kita baik ya, it's oke. Mungkin karena say aini orangnya cukup dingin, dan agak jaga wibawa -dan itu harus-. Jadi ada beberapa orang yang gak berkenan. Walaupun sebenarnya semenjak Olimpiade kemarin, saya sudah cukup mengakrabkan diri dengan mereka. Bingung juga sebenarnya salahnya dimana. Tapi, ya sudahlah.
Saya lalu melanjutkan ucapan saya karena seakan udah jadi hajat dalam hati. "Walaupun saya baru pergi dari sini tanggal 2, tapi saya pikir hanya ini kesempatan saya untuk pamit ke antum. Gak afdhol rasanya kalo pergi tanpa ada ucapan maaf dan terima kasih. Maka saat ini, saya minta maaf jika saya ada salah ke antum, baik berupa perbuatan maupun perkataan yang gak berkenan di hati, saya mohon maaf. Kalau antum punya salah juga InsyaAllah saya maafin. Terima kasih kenangannya selama satu semester ini. Yang awalnya hanya niatnya 2 bulanan doang, tapi akhirnya malah molor jadi 5 bulan. Tapi gara-gara ini jugalah akhirnya kita bisa mengadakan Daarul Khair Olympiad. Sebelum saya pergi, ada satu pesan yang ingin saya sampaikan ke antum. Dan pesan ini akhirnya menjadi motto hidup saya hingga saat ini.
Kyai saya dulu pernah ngomong, 'Kalau kamu tidak lebih baik dari saya -pendahulu/orang tua-, lebih baik kamu gak usah lahir, dan saya gak usah mati. Nambah jatah beras saja!'. Agak keras memang, tapi memang beginilah kita seharusnya. Memang kalau secara teologis, kita diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tapi hakikatnya, kit aini dilahirkan untuk menjadi orang yang lebih baik daripada orang yang melahirkan kita. Jikalau orang tua antum lulusan SMA, maka antum harus sarjana. Jikalau ayah antum petani, maka antum harus jadi bosnya para petani, kalau orang tua antum polisi, maka antum harus jadi komandan para polisi. Intinya kita harus menjadi orang yang lebih baik dari pendahulu kita. Inilah yang mengantarkan kita kepada kemajuan. Kalau kita sama saja bahkan lebih buruk daripada pendahulu kita, maka untuk apa kita ada? Benarlah berarti kata beliau 'Nambah jatah beras saja!'. Maka dari sekarang, persiapkan bekal untuk nanti. Mungkin yang Mts belum kepikiran, tapi yang MA udah mulai kepikiran tuh, 'Ntar mau jadi apa ya?'. Mumpung waktu antum masih banyak, persiapkan bekal sebanyak mungkin. Jangan sampai nanti menyesal karena kurang bekal. Manfaatkan waktu sebaik mungkin.
Sekali lagi, terima kasih kenangannya. Senang kesal semuanya sudah dilalui. Emang bener ya, Santri itu memang yang bikin kesal, marah, kecewa. Tapi santri juga yang bikin senang, semangat, dan mood naik. Hahaha. Bener kok kalau ini. Terakhir, kalau ada pesan yang ingin disampaikan ke saya, silahkan sampaikan sebelum saya berangkat. Jikalau udah berangkat, tapi belum sempat disampaikan, DM saya saja di IG, ya. Sekali lagi terima kasih kenangannya. Saya mohon maaf jika ada salah. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh", saya tutup pesan saya, lalu saya melangkah pergi dari masjid.
Habis ini, saya ada agenda bakar-bakar ikan bareng teman-teman sesama pengabdian. Hampir aja tadi gak dapat ikannya. Apresiasi untuk brader Riko yang udah nyari kesana-kemari sampai akhirnya dapat juga ikan 4 kg. Ada sekitar 14-15 ikan lah yang kebeli. Kami akhirnya siapkan arang, bumbu-bumbu, tempat, nasi, dll. Kali ini benar-benar bakar-bakar perpisahan. Gak ada penundaan seperti kemarin, hahaha.
Setelah dalailan bubar, anak-anak kelas 3 mengajak saya kumpul. Ada yang mau disampaikan katanya. Ya, saya turutin lah. Mereka ini udah saya anggap adik saya sendiri. Sudah ngerasa dekat sekali. Wajar, saya wali kelas mereka soalnya.
"Ustadz, kok buru-buru amat sih ngasih kabarnya?!", protes mereka.
"Ya mau gimana lagi, kelulusannya baru kemarin, geh. Hari ini ya harus saya sampaikan. Saya kira malam ini gak ada dalailan karena ada ujian, eh ternyata ada. Ya sudah, kayak ginilah jadinya. Soalnya besok sudah ke Jakarta sih", jawab saya menjelaskan.
"Cepat amat sih, kak! Udah sih disini saja"
"Hahaha, ya gak mungkin lah. Saya juga merasa bekal ilmu dan pengalaman saya masih kurang. Makanya saya lanjut kuliah di Turki"
"Kak Ari, kami ingin minta maaf kalau banyak nyusahin kak Ari. Terima kasih udah ngajarin kami banyak hal. Support kami ketika kami lagi susah, kecewa. Sekali lagi terima ksih, kak Ari. Jangan lupai kelas 3, kak Ari", kira-kira itulah yang mereka sampaikan ke saya.
Sebenarnya saya merasa tersanjung dengan ucapan mereka ini, walaupun mereka mungkin tidak lebih rajin atau pintar dari murid-murid lain yang saya ajar sebelumnya, tapi mereka ini seakan sudah punya ikatan emosional dengan saya. Mungkin karena saya selalu ada untuk mereka sebisa mungkin. Sama sekali gak berlebihan, saya rasa mereka di pondok memang perlu sosok untuk melampiaskan emosi dan curhatan mereka. Dan saya pasti dengarkan, mau ada solusi atau tidak, yang penting biarkan mereka plong dulu saja sehabis menungkapkan. Ini ilmu tak tertulis yang sudah lama saya dapatkan di Gontor dulu. Bagaimana kit aitu kadang harus bersikap seperti Ayah, kadang jadi kakak, kadang jadi teman. Tergantung waktu yang tepat saja, sih. Dan Alhamdulillah, saya terapkan ke mereka ini benar-benar berhasil. Sekarang sudah lengket kami ini. Makanya, ketika saya ucapkan perpisahan begini, ya mereka sedih mungkin bisa dibilang begitu.
Selesai kumpul dengan mereka, saya pergi ke tempat bakar-bakar ikan, ternyata belum mulai ngebakar, padahal udah jam 11. Mau selesai jam berapa, woy! Hahaha. Walaupun gak lengkap karena pada masih tidur karena infonya telat katanya, tapi gak apalah. Yang penting momen tasyakurannya udah terlaksana. Jadi gak ada yang mengganjal lah. Akhirnya, selesai pun jam 1. Suasana mau pergi begitu terlihat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Notes from Turkiye
AbenteuerCatatan keseharian selama kuliah di turki. Sebelum, ketika, dan setelah berangkat ke turki. İnformasi apa saja tentang turki secara santai. Setiap perjalanan menarik, termasuk destinasi keren yang saya kunjungi selalu saya catat dengan bahasa yang a...