DUA BELAS

130 12 0
                                    

🌷🌷🌷

sebelum baca, tekan tombol vote duluu~

komentar juga jangan lupa, yaa🫶

Happy Reading🌷

"Pak John?"

"Ada apa?" Johnny membalas panggilan dari manager-nya itu. Dirinya berada di ruang kerja perusahaan miliknya. Sedari tadi Johnny sibuk dengan dokumennya, dan baru dua menit dirinya mempunyai waktu renggang.

Kedatangan manager pribadi yang sudah dekat dengannya itu, langsung diperintahkan Johnny untuk duduk. Laki-laki dengan setelan jas hitam kantor itu hendak menyampaikan maksud kedatangannya.

"Pak Renzo tadi sempat menghubungi Anda. Katanya akan ada acara dirumah beliau, dan anak Anda termasuk tamu undangan wajib." Manager itu menjelaskan. "Acaranya berlangsung nanti malam, Pak."

"Kenapa mendadak sekali?" tanya Johnny.

"Untuk itu, saya kurang tahu, Pak."

"Balas anak saya akan datang ke acara itu. Panggil juga dua security rumah saya untuk datang kesini."

"Baik, Pak. Saya permisi."

Manager pribadinya membungkukkan tubuh hormat, dan dibalas anggukan kecil oleh Johnny. Begitu managernya keluar, terbesit sesuatu dalam pikiran Johnny.

"Chandrakuma Lorenzo Hadiningrat ..."

"Teman Hael?"

🌷🌷🌷

"BERHASIL WOI!! DITERIMA SAMA JONI!!" Alion memekik dengan suara khas lumba-lumba miliknya, membuat atensi kelima orang di satu ruangan itu seketika tertuju pada tuan rumah.

"MANA LIAT!!" Jaya yang semula bermain Lego milik Alion, langsung cepat berlari kearah sahabatnya itu, sampai tanpa sengaja menyenggol lengan jelmaan harimau.

"AN—Jaya! Liat-liat, dong!" Reo langsung tersulut emosi saat lengannya tersenggol si bontot. Pelakunya hanya nyengir tanpa dosa.

"Maaf, gak sengaja gue." Ingat akan tujuan awal dirinya antusias, Jaya langsung menatap serius kearah laptop Alion. "MANA NJIR?!"

Nale yang juga sudah sangat penasaran, menempeleng kepala Alion yang malah sibuk dengan game-nya. "Buruan, Ali. Malah main Pou!"

"Bentar-bentar, ini Pou gue banyak tainya."

"Buruan, Lion. Gue kepo berat ini." Juan yang juga sudah sangat amat kepo, turut mengguncang kursi gamer yang diduduki Alion.

"SABAR SIH!"

"Suruh sabar mulu dari tadi. Gue kurang sabar gimana ngadepin temen-temen lo ini, Alion." Arka menyahut dramatis.

"Stop curhat, bukan tempatnya," ujar Reo yang berhasil membuat Arka diam seribu bahasa.

"Nih, liat." Alion menunjukkan room-chatnya dengan Johnny yang dirinya gunakan lewat akses pesan di nomor Papanya.

"HOKI BENER WOI!! ASEKLAHH!!!" Nale dan Juan langsung histeris bahagia. Rencananya sedikit lagi akan berhasil.

"Tapi ... Gue ngeraguin sesuatu."

Ujaran dari Arka berhasil mengundang tanda tanya dari kelima orang disana. Mereka semua menatap Arka, menunggu jawaban diucapkan kembali olehnya. 

"Gue takut Hael kehilangan bahagianya. Maksudnya, Johnny udah separah ini ..."

Laki-laki itu memandang kosong kearah lantai kamar Alion. "Sejahat-jahatnya bokap kalian, apa pernah sampe separah Johnny?"

"Dia setega itu buat hancurin mental anak kandungnya sendiri, malah lebih pilih istri sama dan anak tirinya itu."

"Gue tau, gue paham. Tapi, sebagai temen, harusnya kita bisa selalu ada kan, buat Hael? Dia selalu ngertiin kita, memang sepatutnya kita jadi rumah buat Hael." Nale berujar panjang.

"Udah, anjir. Deeptalk begini buat gue nangis bombai." Juan mencairkan suasana, dia memang handal mengalihkan perhatian.

"Tapi, diantara kita ... Jauh ada yang lebih sakit daripada Hael." Reo tiba-tiba berujar.

"Siapa?" tanya Jaya penasaran.

Reo tersenyum tipis, sangat tipis. "Lupain. Gue cabut dulu, ya."

___💫___

Mata penat itu memejamkan matanya, disaat cahaya masuk dari ruangan yang penuh sesak, di tempat dimana dirinya berada saat ini. Pupil matanya belum dapat menetralkan cahaya yang masuk. Pening. Satu kata yang dapat mewakili dirinya saat ini.

Sekuat tenaga Haelgan berusaha untuk melihat siapa yang datang, berharap seseorang yang selalu dirinya tunggu, datang kembali.

Perlahan, rantai di tangan dan kakinya dilepas. Dapat Hael lihat jika rantai itu ditali dengan sangat kencang. Tangannya pula membiru dan sedikit mengeluarkan darah karena tergores.

Siluet dua orang bertubuh besar tertangkap netra Hael. Dia masih berusaha menerka-nerka siapa orang itu.

Tanpa sedikitpun diantara mereka membuka suara, kedua orang itu membawa Hael keluar dari gudang. Sesampainya didepan pintu, tubuh Hael dilepaskan dan begitu saja terjatuh ke lantai.

"Den, jalan sedikit kesini. Bibi buatin makanan yang banyak, ya." Bi Tari berusaha mengajak Hael untuk bangun, tetapi laki-laki itu membalas dengan gelengan pelan.

"Dibawah dingin, Den. Nanti Den Ael makin sakit." Bi Tari masih berusaha membujuk.

Dengan sekuat tenaganya, Hael berusaha untuk bangun. Tubuhnya terasa remuk walaupun hanya sedikit bergerak. Dia dituntun berjalan oleh Bi Tari ke meja makan. Sementara dua orang yang melepaskannya tadi hanya mengawasi keduanya.

"Den Ael makan, ya?"

Hael menggeleng, justru tersenyum pada Bi Tari. "Ael boleh minta tolong ambilin air, Bi?"

"Oh iya-iya, sebentar." Bi Tari dengan cepat mengambilkan satu gelas air minum untuk Hael. "Badannya Aden pasti sakit semua, ya?" tanya Bi Tari sambil memijat tangan kiri Hael.

Hael justru menggeleng. "Nggak sakit kok, Bi. Cuma keliatannya aja." Hael masih berusaha tersenyum manis, meskipun terlihat dari netranya jika sorot itu menjelaskan seberapa lelah dirinya.

Bi Tari menghembuskan nafasnya gusar. "Den Ael diajak kerumah Pak Renzo, Ayahnya Alion. Kira-kira, sanggup gak?"

"Ada acara apa, Bi?"

"Kurang tau Bibi mah. Kata dua orang itu, Den Ael jadi tamu penting."

Semesta untuk Hael [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang