SEMBILAN BELAS

77 8 0
                                    

"Kenapa lo selalu nolak setiap gue sentuh, Cel?! Lo bahkan udah gue beli dari Arthur. Lo cuma punya gue sekarang."

"Javier... Gue punya tante dirumah. Lo beli gue dari om Arthur, tanpa persetujuan dari gue. Tolong ... Bebasin gue ..." Acel memohon pada laki-laki itu.

"Terus? Gue harus ladenin lo?" Javier melangkah maju, membuat Acel semakin memundurkan langkahnya. Javier mengelus rambut Acel dengan lembut. Mata Acel sudah mengeluarkan cairan bening. "Lo cuma punya gue sekarang."

"NGGAK!" Acel memberanikan diri untuk mendorong Javier menjauh. "JANGAN SENTUH GUE, SEKALIPUN GUE UDAH LO BELI!"

Acel sesegukan dibuatnya. "Lo jahat ... Javier."

Javier sendiri hanya menatap datar ke gadis itu. Acel melangkah keluar kamar Javier, lalu menghilang dibalik pintu.

Javier mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Mencari kontak seseorang, lalu menelpon.

"Dahului Acella sampai kerumah. Habisi nyawa Riri."

"Tapi, Bos ..."

"Perintah."

___💫___

Dijalan menuju rumahnya, Acel memiliki firasat buruk. Kondisi jalanan lumayan ramai saat itu. Dia buru-buru dalam melajukan motor, karena khawatir dengan Riri.

Masalah ini belum Acel ceritakan dengan Riri, dirinya seorang yang menyimpan semua cerita. Acel tidak mau Riri ikut campur dalam urusan ini.

Sudah akan memasuki area komplek rumahnya, Acel dihadang oleh tiga orang berbaju serba hitam dengan motor besar.

"Nona Acella, Tuan Javier meminta anda untuk pulang, sekarang," ujar salah satunya sambil berusaha menarik lengan Acel. Perempuan itu sebisa mungkin untuk melawan.

"Jangan sentuh gue! Gue gak mau kerumah Javier lagi!" frustasi Acel.

"Jika ingin orang kesayanganmu selamat, turuti perintah dari Tuan Javier, Non."

"Kalo gue gak mau, lo bisa apa?! Minggir! Jangan halangi jalan gue!!"

Ponsel salah satu dari ketiga orang tadi berbunyi, cepat-cepat dirinya mengangkat. Sementara Acel, tangannya dicekal oleh salah satu pria dan satunya lagi menahan motor.

"Sudah selesai?" Pria itu bertanya ke seberang telpon. "Lepasin dia," instruksi orang itu pada dua orang rekannya. Sementara keduanya menurut, Acel menatap sinis keduanya sambil meloloskan tarikan nafas panjang. Kemudian berlalu dari sana.

Acel sedikit merasa heran, takut jika Javier melakukan sesuatu pada Riri. Dia mengeluarkan kunci rumah minimalis itu, mencoba memasukkan tetapi ... Tidak terkunci?

Acel melangkah masuk kedalam rumah. Menuju ruang tengah, matanya membulat sempurna, dirinya langsung meluruh ke lantai dengan air mata yang keluar dengan derasnya ketika melihat kondisi Riri.

"T-tante ..."

"Ma-maaf ..."

Acel menangis sesegukan disana, menyentuh tangan Riri yang tidak lagi terasa adanya denyut nadi. Pisau daging masih tertancap di dada wanita itu, darah mengalir dimana-mana.

Satu orang yang melihat keduanya dari jendela samping itu menatap penuh arti pada keduanya. Dia menatap tangannya yang terkena darah Riri. Mulai saat itu, dia membenci dirinya sendiri.

Orang itu berlalu dari sana disaat seseorang menepuk pundaknya, mengajak untuk pergi sebelum ada orang yang melihat.

Didalam sana, ponsel Acel berbunyi. Dirinya dengan cepat mengangkat telpon itu tanpa sempat melihat siapa yang menelfon dirinya.

"Jadi gimana? Lo mau ngebantah gue lagi? Oh iya, silahkan lapor ke polisi. Itu cuma buat lo capek doang karena mereka gak akan gubris kasus tante lo itu." Telpon dimatikan secara sepihak oleh Javier. Acel masih terus menangis, seluruh tubuhnya terasa sakit, karena ulah iblis itu.

"Brengsek."

Jari Acel mencari nomor seseorang. Dia langsung menelpon, Acel butuh dirinya saat ini.

___💫___

Jenazah Riri sudah dimakamkan. Polisi masih menindak lanjuti kasus ini, meskipun tidak tahu bagaimana kebenaran tentang Javier yang mengatakan 'sia-sia'.

Kondisi pemakaman mulai sepi, sedari tadi, orang-orang mengelus pundak Acel sambil mengucapkan kata yang menangkan. Walaupun itu tidak akan mengubah Riri untuk kembali, setidaknya ada orang yang masih mengingat dirinya.

Annia disebelahnya, terus mengelus pundak sahabatnya itu. Mata Acel terlihat membengkak, terlalu lama menangis.

Hael dan Arka masih setia berdiri disana, menunggu Acel untuk pulang agar bisa dirinya antar. Setelah kehilangan Riri, Hael takut jika Acel melakukan hal yang nekat. Maka dari itu, Hael akan terus menjaga Acel.

Sedangkan Arka, dirinya pula tidak tahu mengapa masih disini. Jelasnya, dia menunggu sampai Hael pulang, barulah dirinya juga pulang. Annia sudah ditunggu mobil didepan pemakaman, jadi tidak perlu repot mengantarkan.

"Acella, udah malem, pulang, ya?" tanya Annia, yang dibalas anggukan oleh Acel. Mereka berdua berdiri, bersamaan meninggalkan tempat itu dan disusul oleh Arka dan Hael.

Hael sengaja membawa mobil, dia tidak ingin Acel kedinginan. Sedangkan Arka pula menumpang padanya. Suasanya di mobil sangat sunyi, atmosfer pula terasa menegang. Acel terus saja menunduk.

"Lei? Udah ya, sedihnya," ujar Hael. "Nanti gue beliin makanan yang enak, mau?" sambungnya. Tapi tidak mendapat respon dari Acel.

"Maaf."

Hael menaikkan sebelah alisnya. "Maaf buat?"

"Gue udah ngerepotin."

Hael menggeleng. "Nggak, Lei. Lo gak ngerepotin kok."

Arka menatap interaksi keduanya dari kursi belakang. Mungkin, sedikit demi sedikit dirinya bisa membiasakan untuk tidak terlalu berharap pada Acella. Mungkin.

"Makasih ya, Hael, Arka juga. Gue gak tau apalagi yang bakal kejadian, kalo gak ada kalian." Acel tersenyum tipis.

"Gitu dong, senyum, kan jadi makin cantik." Hael mengelus puncak kepala Acel, membuat wajah gadis itu memerah. Hael kemudian kembali memusatkan pandangannya pada jalan didepan.

Sementara Arka, tersenyum kecut atas perlakuan Hael pada Acel. Dirinya memang benar-benar tulus pada gadis itu. Tidak mungkin Arka tega mengambil senyum dari sahabatnya sendiri.

___💫___

untuk bab ini words nya lebih dikit, maaf


untuk jadwal update, maaf banget kalau masih berantakan. sebenarnya aku udah siapin beberapa bab kedepan, tapi karena sering lupa dan jarang buka wattpad, suka ga inget kalo ada bab yang harus dipublish

sekali lagi, maaf sebesarnya buat kalian yang masih mengharapkan cerita ini untuk lanjut, dan masih memberikan vote. walaupun masih sebagian yang kasih vote, semoga lama kelamaan semuanya bisa kasih apresiasi dengan tekan tombol bintang itu, ya

karena satu vote dari kamu, adalah seribu semangat untuk author melanjutkan cerita sampai end.

tbc. see u next part, Staryn!
ʚ plower

Semesta untuk Hael [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang