00 | Prolog

8K 442 37
                                    

00

Haechan berjalan mondar-mandir dengan tidak tenang. Sesekali menggigit ujung jarinya, merasa resah dengan keadaan Renjun dan calon anaknya di dalam.

Yangyang dan Jeno yang melihatnya, jengah sendiri. Walaupun mereka tidak menampik, kalau mereka juga merasa khawatir dengan Renjun.

"Renjun akan baik-baik saja." Yangyang menenangkan, masih memakai seragam SMAnya dia dan Jeno langsung pergi ke rumah sakit sesaat setelah Haechan mengabari. Untungnya mereka sudah pulang.

"Gue takut."

Wajar sebenarnya. Mereka juga tidak dapat melakukan apapun. Selain menunggu.

Dan entah berapa lama, suara tangis bayi terdengar. Haechan membeku, begitu juga dengan kedua temannya. Mereka saling memandang. Ada ekspresi lega. Kedua pundak yang sejak tadi menegang, lemas seketika.

"Dah jadi bapak," kekeh Yangyang. Dia rasanya ingin menangis. Karena Yangyang tau, bagaimana perjuangan keduanya selama 9 bulan ini. Dan Yangyang harap, walaupun ke depan nanti lebih sulit, mereka bisa terus bersama.

"Sekarang tanggungan lo nambah, ya?" Jeno meledeknya, menepuk pundak Haechan beberapa kali. "Tapi, selamat. Gue harap lo bahagia sama keluarga kecil lo itu."

Haechan mengangguk. Mengucapkan terima kasih. Dan bersyukur karena setidaknya, dia masih memiliki teman yang mau membantunya.

~

Haechan memasuki ruang rawat Renjun. Pemuda yang sudah dia nikahi 7 bulan lalu itu, terbaring lemah di atas ranjang. Kedua mata terpejam. Tummy yang sebelumnya menghiasi perut Renjun, sekarang menghilang.

Berbeda dengan Haechan yang langsung ke Renjun, Yangyang dan Jeno lebih dulu pergi ke ruangan bayi. Ingin menegok lebih dulu anak kedua teman mereka itu. Sudah Haechan pastikan, mereka akan berdebat setelah ini.

Haechan berdiri di sisi kanan ranjang. Tangan kanannya dengan sedikit ragu, menyentuh tangan pucat Renjun. Menyentuh jemari lentiknya dengan lembut. Dan sepertinya, sentuhan ringan itu membuat renjun membuat kedua matanya.

"Ah, gue bangunin lo, ya?" tanya Haechan, merasa bersalah.

Bibir pucat itu bergerak, membalas ucapan Haechan. "Enggak, tadi juga gak tidur."

Haechan tersenyum. Dia menggenggam kedua jari Renjun dengan lembut. Keadaan kamar hening, mereka tidak tau harus berbicara apa. Rasanya sedikit canggung. Padahal mereka sudah tinggal bersama lebih dari 7 bulan.

"Ren," panggil Haechan. Renjun segera menatapnya. "Gue gak bisa janji, dan gue juga gak bisa mastiin kalau semuanya bakalan gampang. Tapi, gue bakalan berusaha. Gue mau berjuang, demi lo dan anak kita."

Renjun diam. Anak kita? Benar. Anak mereka. Renjun sudah melahirkan buah hatinya yang dibuat secara tidak sengaja. Dan perkataan Haechan tadi, membuat dadanya terasa sesak. Seperti bahagia? Atau ketakutan?

"Kita."

Haechan memandangnya bingung.

"Demi kita. Gue, lo sama anak kita. Kalaupun lo gak bisa ngeprioritasin diri lo sendiri, seenggaknya izinin gue buat ngeprioritasin lo. Sekarang ..." Renjun menjeda selama beberapa detik, "... kita keluarga."

Benar. Sekarang mereka keluarga. Bukan hanya ada suami dan istri, namun ada anak di antara mereka berdua. Mereka juga sudah menjadi orang tua, dan hanya tinggal melanjutkan saja. Mereka harus mengurus anak sebaik yang mereka mampu.

Kedua sudut bibir Haechan tertarik ke atas, "Ya."

Pintu diketuk 2 kali lalu terbuka. Seorang perawat datang membawa tempat tidur bayi. Ada Jeno dan Yangyang di belakangnya. Tersenyum tidak jelas.

Setelah menjelaskan ini-itu tentang ibu dan bayi, perawat izin keluar. Menutup pintunya kembali. Membiarkan mereka menikmati waktunya.

Renjun dibantu duduk oleh Haechan agar pemuda itu bisa melihat bayi mereka lebih leluasa. Mata bulatnya mengerjap. Menatap bayi mungil yang terbungkus selimut juga penutup kepala. Matanya terpejam.

Haechan pun sama. Memandangnya dengan berbinar, juga tidak percaya. Anaknya itu? Itu anaknya? Seriusan Haechan udah jadi bapak-bapak sekarang?

"Jadi?" Yangyang memecah keheningan. "Gue maklum, masih kaku."

Haechan mengerjap. Dia menyentuh tangan mungil anaknya. Menyentuhnya dengan ujung jari.

"Jaemin."

Renjun mendongak. Memandang Haechan. Haechan menatapnya, "Namanya Jaemin. Lee Jaemin." Haechan tersenyum, "Anak kita, Jaemin."

Yang lebih mungil, mengerjap. Dia kembali menunduk, menatap bayi yang tertidur lelap. Renjun bergumam, "Jaemin."

Munculnya Jaemin di tengah keduanya, memberikan dampak besar. Kali ini, tidak ada hanya Haechan dan Renjun. Ada Jaemin yang berada di antara mereka.

Perubahan akan terjadi. Mau tidak mau, Haechan dan Renjun harus menghadapinya. Setidaknya bersama-sama.

Yangyang mencubit lengan Jeno, membuat kekasihnya itu menahan jeritannya. Sakit sekali.

"Jen, ayo punya anak."

"Gak dulu."

~oOo~

Selamat Datang

Seharusnya ini ide lama sebelum Golden Hour, cuman baru ditulis sekarang aja ^^

Dukungannya jangan lupa, wan-kawan. Ini angst? Semoga gak banyak, tapi kayaknya banyak.

Gak tau :')

Jum, 22 Mar 2024.
LisaPutri0503

08.13 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang