23 | Cita-cita

2.4K 329 54
                                    

DUA TIGA

"Papa enggak boleh pelgi!"

Pekikan Jaemin terdengar saat Haechan akan izin pergi bekerja. Haechan tidak bisa terus-menerus di rumah. Dia harus mencari nafkah. Untuk Jaemin. Haechan tidak bisa terus mengandalkan orang lain. Pun orang tua Renjun yang sedikitnya waras semenjak hilangnya anak sulung mereka.

Bocah itu demam, jadi izin tidak masuk sekolah. Dan saat tidur, Jaemin akan terus memanggil Mamanya. Berharap kalau dia membuka kedua matanya, Renjun pulang dan memeluknya.

Tapi, tidak. Mama tidak pernah pulang. Ini bahkan sudah seminggu sejak Mama pergi. Jaemin tidak pernah melihatnya lagi. Sudah tidak pernah mendengar suaranya lagi. Jaemin merindukannya. Demam Jaemin sudah turun, tapi tubuhnya akan panas kembali. Kondisinya melemah. Jaemin terlihat kurus.

"Papa enggak boleh pelgi!" Jaemin memekik, dia mencengkram baju Haechan dengan tangan kiri. "Papa pelgi, nanti sepelti mama. Jaemin gak mau!"

Haechan merendahkan tubuhnya. Berjongkok di depan sang anak semata wayangnya. Memegang kedua bahu kecilnya lembut.

"Jaemin, Papa hanya pergi bekerja. Nanti sore, Papa janji akan pulang. Papa pulang bawa martabak, gimana?"

Jaemin masih mencengkram kuat baju sang Papa. Dia menggeleng. Jaemin sulit percaya. Jaemin tidak mau percaya. Jaemin tidak ingin Papa pergi. Jaemin takut kalau Papa tidak pulang; seperti mama.

"Jaemin." Haechan berbicara lembut, "Papa harus pergi bekerja. Kalau Papa tidak bekerja, Papa tidak dapat uang. Nanti Jaemin gak jajan gimana? Jaemin mau?"

"Mau."

Haechan tersentak kecil. Dia menatap wajah anaknya yang pucat.

"Jaemin enggak jajan. Jaemin enggak beli es, enggak beli susu. Jaemin di lumah aja, sama Papa."

Penjelasan Jaemin membuat hati Haechan tidak nyaman. Pemuda itu bingung harus menjelaskannya seperti apa. Dia tau betul, jalan pikiran sederhana Jaemin.

"Jaemin gak jajan, tapi Papa harus tetap bekerja. Hidup itu butuh uang, dan kalau enggak punya uang, nanti sulit."

Tau kalau Papanya akan tetap pergi walaupun Jaemin menangis, bocah itu memilih untuk mendekatkan tubuhnya pada Haechan. Memeluk leher Papa dengan lengan kirinya.

"Jaemin ikut."

"Jaemin ..." Haechan kehilangan kata-katanya. Efek ditinggal oleh mamanya, tidak main-main ternyata.

"Kalau Papa pelgi, Jaemin ikut."

"Jaemin di rumah aja. Sama kakek nenek, ada onty sama kakak juga. Kalau Jaemin ikut, Jaemin enggak bisa istirahat. Nanti sakitnya makin lama."

"Enggak papa," gumam Jaemin. Wajahnya dia sembunyikan di ceruk leher Papanya, "Jaemin mau liat Papa, biar enggak pelgi. Jaemin mau duduk aja, liat Papa."

Haechan menghela napas. Dia mengusap punggung Jaemin lembut. "Jaemin ke Om Mark mau? Om Mark semalam bilang ke Papa, dia libur. Cuman di rumah aja, Jaemin mau di sana. Tempat kerja Papa sama rumahnya Om Mark deket, kok."

Jaemin menggeleng. Pelukannya makin erat. Tanda kalau dia tidak setuju dengan usul sang Papa.

"Jaemin enggak mau di sini, Jaemin enggak mau sama Om Melk. Jaemin cuma mau sama Papa."

Jaemin menatap orang tua Renjun yang memperhatikannya. Begitu juga dengan 2 adik Renjun yang tertahan saat mereka akan pergi ke sekolah. Kedua gadis itu seolah sangat tau bagaimana perasaan Jaemin. Mereka tidak pernah berkomentar apapun.

"Jaemin cuma mau sama Papa, mama juga. Tapi, mama gak ada. Jadi, sama Papa aja."

"Tapi, ada Nen—"

"Jaemin enggak suka di sini!" jerit Jaemin, "Jaemin mau pelgi. Mau pulang. Jaemin nggak suka!"

08.13 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang