Prologue: The Netherland's Boy

1.4K 99 2
                                    

Lee Jung Chan menghadiri pemakaman salah satu kenalan ayahnya di Belanda. Sebetulnya tidak ada urusan dengannya. Maksudnya, lelaki yang kerap disapa Chan itu tidak mengenal keluarga ini, lelaki yang dimakamkan, atau siapapun di sini. Chan sempat melihat potret orang yang dimakamkan itu, ia cukup tampan untuk ukuran seorang pria berusia delapan belas. Yaaa tidak bisa dipungkiri juga bahwa darah Eropa dan ketampanan itu seperti satu kesatuan.

Kata ayahnya, lelaki Eropa itu seusia Chan. Berbeda beberapa bulan saja. Lebih tua Chan. Anak itu tidak punya teman sebayanya. Dari cerita ayah, Chan tau kalau lelaki itu sedikit kesusahan berinteraksi sosial. Selain itu, karena darah Asia dari ibunya, anak itu sedikit dijauhi. Mendengar itu Chan sedikit merasa tidak nyaman. Sayang sekali kalau begitu. Chan tidak pernah punya teman sebaya juga. Temannya adalah teman ayah atau ibu. Sebagai anak dari seorang arkeolog dan penulis fiksi terkenal, Chan juga dijauhi orang-orang. Klise. Keluarga Chan sedikit banyak dikenal orang sehingga apapun yang dilakukan Chan kadang diartikan sebagai hal negatif, misalnya sengaja menyombongkan diri.

Setelah ayahnya memberitahu itu, Chan setuju ikut ke Belanda. Tujuannya agar keluarga anak itu merasa ada yang benar-benar berkabung untuk sang putra. Dari sepenglihatan Chan pun, seluruh orang yang hadir di sana kebanyakan memang orang tua. Anak sebayanya hanya ada tiga orang. Satunya berwajah agak Asia, kalau Chan boleh bilang seperti itu. Lelaki itu berpakaian seperti rakyat Belanda jaman dulu. Kemeja berwarna coklat muda dengan vest berwarna lebih gelap. Sedikit kontras dengan semua orang yang berpakaian serba hitam. Wajah aristokratnya tampak kosong memandang peti mati si anak Belanda. Dua orang lainnya menangis tersedu-sedu. Chan meringis, ikut merasa iba.

Lalu, tatapan mereka bertemu.

Chan merasa tertangkap basah karena memandangi si lelaki dengan intens. Ia kemudian tersenyum dan sedikit menundukkan badan. Sial. Sial. Sial. Sial, lelaki itu cantik sekali. Takut-takut, Chan kemudian menatapnya lagi, Lelaki itu tersenyum sampai menampakan eye smile yang membuat Chan kikuk. Matanya refleks memutus kontak dan berpaling kemanapun asal bukan pada lelaki itu.

Chan kemudian beranjak dari sana setelah memberikan gestur sopan, menghentikan acara tatap-menatap itu. Katakanlah ia sedikit terpikat. Ibu dan ayahnya tidak pernah mempermasalahkan orientasi seksualnya. Mereka cukup terbuka. Jadi, Chan lebih memilih menghentikannya sekarang juga sebelum ia bertindak lebih jauh dan mempermalukan dirinya sendiri.

Chan menghampiri ayahnya yang sedang duduk di salah satu bangku yang disediakan. Lelaki berkacamata itu tengah mengobrol dengan seseorang. Asia juga. Tampak sedikit tidak asing bagi Chan yang kemana-mana hanya ikut ayah dan ibunya. Menyadari kehadirannya, Tuan Lee memintanya duduk dan mengenalkannya pada seseorang itu.

"Dino, ini Tuan Dezentjé. Dia orang Indonesia"

Dino adalah nama panggilan Chan ketika bayi, dan ayahnya lebih sering memanggilnya begitu mungkin karena kebiasaan. Chan kemudian menyalami lelaki itu. Tampak sopan. Ia menyadari asal lelaki itu ketika melihat enamel kecil yang tersemat di jas nya. Enamel itu berbentuk alat musik Indonesia, angklung. Tampak cantik dengan hiasan bunga anggrek kecil. Berwarna emas dan berkilau.

"Ini enamel yang diturunkan keluargaku. Pemberian seorang Raden Ayu"

Menyadari ketertarikan Chan. Tuan Dezentjé melepas enamel miliknya itu dan memberikannya pada Chan. Ia menerimanya dengan sungkan. Cantik sekali ketika dilihat dari dekat. Chan tau apa itu Raden Ayu. Itu gelar kebangsawanan di Indonesia. Jadi, lelaki ini adalah seorang bangsawan, ya? Tapi marganya Belanda. Sedikit membuat Chan keheranan.

"Cantik sekali"

Chan hendak menyerahkan kembali pin itu. Tapi Tuan Dezentjé menolaknya. "Untuk Chan saja. Namamu Chan, kan?"

"Eh? Benar untukku?"

Kedua lelaki dewasa itu tergelak dengan antusiasme Chan. Keduanya maklum, bagaimanapun Chan masihlah anak-anak. Chan menarik lagi tangannya dan sekali lagi mengamati enamel di genggamannya. Ia kemudian memasangkan enamel itu di jasnya. Cantik sekali. Ia tersenyum pada Tuan Dezentjé sembari bergumam terimakasih.

"Simpan baik-baik, ya. Enamel itu harusnya diturunkan ke anak-anakku. Tapi aku tidak menikah dan anakku satu-satunya sudah meninggal. Jadi sepertinya ku wariskan saja padamu." Chan mengangguk canggung sedikit tidak enak. Tuan Dezentjé dan ayahnya kemudian melanjutkan obrolan yang terpotong. Meninggalkan Chan yang diliputi sedikit rasa bersalah karena menerima enamel itu. Tapi sudahlah. Mungkin Tuan Dezentjé hanya merasa ingin.

Chan merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sedikit membuatnya merapat pada ayahnya. Dihadiahi sebuah rangkulan akrab dari Tuan Lee. Wangi harum bunga anggrek kemudian menyapa penciumannya. Dan Chan yakin, yakin sekali. Bahwa lelaki yang memakai piyama biru dengan sedikit garis putih itu, yang kini menatapnya dalam,

adalah si anak lelaki Belanda yang tadi di semayamkan.

---

🐾:

Hallo, ini adalah book pertamaku. Aku sudah mengumpulkan keberanian selama lebih dari sekian tahun untuk menerbitkan karya ini, sampai akhirnya bisa sekarang ada di genggaman kalian. Selamat menikmati ya!!

Dino and The Twelve ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang