1. The Night in Haarlem

1.1K 93 10
                                    

Sir Vernon Chwe,dipotret sebelum berpulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sir Vernon Chwe,
dipotret sebelum berpulang.
---

Selama perjalanan menuju Haarlem, kota yang ayahnya pilih untuk menginap dari hari ini sampai besok, Chan cuman diam saja. Dahinya mengerut, bibirnya mencebik. Haarlem adalah salah satu kota di Belanda. Kalau mencari di mesin pencarian, maka akan muncul bangunan-bangunan kuno di sana yang sering Chan kagumi diam-diam.

Chan masih memikirkan kejadian aneh di rumah duka keluarga Chwe.

Ia meringis diam-diam. Kalau itu hantu betulan, berarti ini bagian dari doa-doa Choi Soobin, tetangganya yang sering ia jahili dengan suara-suara hantu karena sering pulang larut atau berciuman tepat di depan rumahnya -yang tentu saja terlihat dari balkon rumah Chan- dengan pacarnya yang sexy itu.

Tangan Chan memainkan cincin di jari manisnya. Itu adalah cincin pemberian ibu. Arkeolog kondang itu memberikannya pada Chan ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Tadinya cincin itu bisa dipakai di jari tengah atau di ibu jari. Kini, cincin itu hanya muat di kelingking. Chan ingin melepasnya. Atau menjadikannya bandul kalung. Hanya saja, di saat-saat resah seperti ini, Chan tidak bisa memainkannya. Merasakan keberadaan cincin ini di jarinya, membuat Chan merasakan kehadiran ibu.

Tadi ibunya menelfon, wanita itu sedang ada di Yunani untuk mengecek beberapa artefak kuno yang di temukan tertimbun oleh masyarakat sekitar. Chan jujur saja tidak terbiasa dengan pekerjaan ibunya yang selalu bepergian dengan resiko besar walaupun itu sudah berjalan lebih dari usia Chan. Mungkin karena Chan paling dekat dengan ibu dan dibiasakan berperasaan lembut oleh ayah. Chan khawatir ibu kenapa-kenapa. Menjadi arkeolog bukan pekerjaan sembarangan. Banyak bahaya. Banyak hal yang bisa jadi merenggut ibunya kapanpun.

Chan melirik pada ayahnya yang tengah bersenandung mendengarkan Duran Duran di radio mobil. Sedikit kontras dengan penampilan ayah yang, kalau kata anak jaman sekarang, sangat soft. Vest hitam rajut dengan kemeja putih. Kacamata minus kotak dan rambut yang ditata sedikit rapih. Dikatakan sedikit rapih karena rambut sang ayah selalunya berantakan. Tidak bisa sangat 'rapih'. Gen yang menurun kuat padanya. Rambutnya bahkan lebih parah.

Mobil berbelok mengalihkan atensi Chan sepenuhnya. Tuan Lee memilih sebuah hotel yang tampak seperti bangunan lama. Selera ayahnya sekali. Namun tepat ketika Chan melirik pada cermin mobil, ia tersentak. Chan memutar tubuhnya melihat dengan jeli bagaimana sosok itu diterpa sinar matahari. Berkilauan. Dan tertidur.

Lelaki Belanda itu mengikutinya!

"Kenapa, Dino?"

Pertanyaan ayahnya hampir tidak terdengar sebab Chan mendapati telinganya berdenging. Jantung Chan berdegup kencang seolah habis lari marathon. Chan takut-takut mengalihkan atensinya pada ayah. Keduanya telah tiba di basement hotel. Musik di matikan dan sepenuhnya atensi Tuan Lee tertuju pada Chan. Anak satu-satunya itu pucat pasi. Mobil sudah terparkir dan berhenti. Chan hendak mengatakan apa yang ia lihat sebelum sesuatu yang dingin menyentuh tangannya. Nafas Chan memburu. Sial, sial, sial.

Dino and The Twelve ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang