Chan menikmati sarapannya dengan canggung. Mencoba menghindari bertatapan mata dengan si hantu. Untunglah tadi Chan sempat memalingkan muka dan mengabaikan keberadaan hantu itu. Mengulang-ulang wejangan Sir Joshua. Tidak boleh sadar akan keberadaan si hantu agar ia juga tidak mengganggu keberadaanmu.
Hantu yang berasumsi kalau kita tidak melihat mereka jauh lebih aman daripada hantu yang tahu kalau kita bisa melihat mereka. Chan menggerutu, sarapannya jadi terasa beresiko sekarang. Ia takut diculik seperti yang dilakukan Seokmin. Jangan protes bosan dengan hal ini, Chan masih sangat trauma.Suara pensil yang bergesekan dengan kertas, kemudian ketukan antara ujung kuku jari dengan meja, lalu helaan nafas panjang mengisi pagi Chan hari ini. Sedikit menikmatinya juga, sih. Hantu itu wangi kertas lama. Kalau bajunya bukan keluaran sebuah brand lokal terkenal, mungkin Chan akan mengira usia hantu itu sama dengan Seokmin atau bahkan Sir Joshua.
Selain itu, lelaki itu juga wangi lavender. Salah satu kesukaanya.
Fokus Chan sedikit terganggu ketika selembar kertas terbang kearah kakinya. Mendarat mulus tak lebih dari tujuh senti dari kaki meja yang ia gunakan. Pendopo itu memang dilengkapi dengan meja, biasanya untuk upacara minum teh. Kesukaan kakek Chan.
Dengan rasa ingin tahu yang sepertinya ditulari Seungkwan, Chan mengintip kertas itu. Isinya hanya not balok dan tulisan yang tak Chan kenali. Satu-satunya yang bisa Chan baca hanya judulnya. Sedikit kagum bagaimana judulnya ditulis dengan sangat indah. Meliuk seperti kaligrafi.
"Yvette: Das Lied von der Fraternisation"
Chan membulat terkejut. Itu adalah salah satu lagu yang dibawakan dalam cerita Mutter Courage und ihre Kinder. Atau yang lebih sering dikenal dalam judul berbahasa Inggrisnya, Mother Courage and Her Children. Chan mengambil kertas itu. Di otaknya terputar adegan dimana lagu ini dinyanyikan. Meski tak bisa membaca partitur not balok, tiba-tiba saja lirik dari lagu di tangannya bisa Chan lihat.
Hanya sebuah drama yang berlatar belakang Perang Tiga Puluh Tahun. Tentang seseorang yang dikenal sebagai Mother Courage. Ia menjual barang-barang kepada tentara dari kedua belah pihak yang berperang bersama anak-anaknya.
Sepanjang cerita, Mother Courage kehilangan ketiga anaknya satu per satu karena perang. Chan ingat bagaimana kematian anak tertua Mother Courage, seorang lelaki yang direkrut oleh tentara karena keberaniannya, tetapi kemudian dihukum mati oleh pihak yang sama.
Kemudian kematian anak keduanya, bekerja sebagai bendahara bagi tentara Protestan, tetapi tertangkap oleh tentara Katolik dan dieksekusi. Yang paling mengenaskan nasib si anak bungsunya yang bisu, ia tewas setelah mencoba memperingatkan sebuah kota dari serangan mendadak dengan memukul genderang dari atap rumah.
Tapi bahkan setelah kejadian-kejadian itu, Mother Courage tetap melanjutkan perjalanan hidupnya. Menarik gerobaknya yang sudah tua, mengelilingi peperangan yang tiada habis. Adegan-adegan yang berkesan dari drama itu berputar di kepala Chan. Seperti kaset rusak.
"Mengingatkanmu pada seseorang?"
Chan mengangguk, matanya masih menatap partitur not balok itu lekat-lekat seakan kalau ia tatap lebih lama dan lebih dalam dari ini, mungkin saja para pemeran drama itu akan keluar dari kertasnya dan menghibur Chan.
"Mother Courage seperti Ibuku"
"Tidak terganggu dengan fakta anak-anaknya meninggal dan ia berjalan sendirian?"
"Tentu saja ti-EH" Chan mendongak. Membolakan matanya ketika tersadar siapa yang kini berada di hadapannya. Sial. Sial. Sial. Kenapa otak Chan selalu berubah lambat kalau berurusan dengan hantu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dino and The Twelve Shadows
FantasyLee Chan terjebak dengan urusan 12 hantu yang mengikutinya semenjak ia kembali dari Belanda. Bayangkan, 12 hantu. Semuanya kini tinggal di rumah Chan dan mengganggunya setiap hari. Chan frustrasi!!!