Bab 7: Wali Nikah

217 20 2
                                    

Tok! Tok! Tok!

“Assalamualaikum...” ujar Taufan berusaha menahan air matanya. Taufan lagi nyamperin rumah bapaknya sama istri barunya. Sebenarnya bukan Taufan nggak ngerti dimana rumah bapak-emaknya yang sekarang, tapi mereka emang udah nggak mau ngurus kedua anaknya setelah cerai, terutama Tiffany. Makanya Taufan juga nggak berani ngemis tetap tinggal sama mereka, daripada mereka makin marah.

“Waalaikumussalam...” jawab Tuti, ibu tiri Taufan, alias istri baru bapaknya Taufan. “Taufan? Ngapain kamu kesini?” ucap Tuti dengan judes. “S-Saya... Mau... Nikah, Bu. Saya butuh wali nikah.” lirih Taufan.

“Hei! Harusnya kamu sadar diri, ya! Narto itu udah nggak sayang sama kamu! Jadi kamu nggak usah berharap apapun ke Narto! Kasih sayang dari mas Narto hanya tercurah untuk saya dan anak-anak kami! Paham?!” bentak Tuti dengan judes. “I-Iya Bu, saya mengerti. Baiklah saya pamit saja, maaf mengganggu kebahagiaan rumah tangga kalian.” kata Taufan dengan mata berkaca-kaca, bohong sekali kalau saat ini hatinya tidak sakit.

“Pergi kamu! Jangan pernah kembali ke rumah ini, karena ini bukan rumah kamu!” teriak Tuti. Gak sanggup lagi, akhirnya Taufan lari ke balai desa dan nangis kejer disana, mumpung nggak ada orang.

“Eh, Taufan? Kamu kenapa?” tanya Halilintar yang tiba-tiba datang dari arah warung. Tadinya Hali cuma beli kecap sama minyak goreng, tapi begitu ngeliat Taufan nangis, dia langsung naruh di balai desa itu juga.

“H-Hali... Aku bingung... Nggak ada yang mau jadi wali nikahku...” lirih Taufan. “Udahlah... Gimana dengan ayah tirimu?” tanya Halilintar. “Sama aja. Nggak bakalan mau. Dulu aku pernah coba ikut ayah kandung dan ibu tiri, aku nggak pernah dikasih makan, kalaupun dikasih makan palingan juga sisa makanan yang udah basi. Giliran ikut ibu kandung dan ayah tiri, aku selalu disiksa sama ayah tiriku, entah itu dipukuli, dicambuk, atau apalah. Katanya aku ini anak pembawa sial. Makanya aku milih tinggal berdua aja sama Tiffany. Meskipun Tiffany berkebutuhan khusus, tapi dia sayang sama aku dan bisa ngehargain perasaan aku. Aku udah nggak begitu percaya sama keempat orangtuaku.” jelas Taufan.

Halilintar menghela nafas. “Kamu benar-benar hebat, Taufan. Tenang aja, kamu nggak sendirian kok, masih ada Tiffany, aku, dan Kenzo. Lagian, kita bisa pakai penghulu sebagai wali nikah, 'kan?” ujar Halilintar lembut.

Mata Taufan langsung ngejreng. “Kamu mau panggil penghulu, Li?” tanya Taufan. “Iya. Lagian nggak ada pihak keluargamu yang mau jadi wali nikah, ya udah pakai jasa penghulu aja. Udah ya, kamu nggak usah sedih.” jawab Halilintar.

Sebenarnya aku pun jadi ragu memilih pasangan setelah melihat sifat asli ayah dan mantan suamiku. Tapi, sepertinya Halilintar ini laki-laki yang baik...” batin Taufan mulai mengagumi Halilintar.

“Kamu jangan diam aja ya, kalau mereka jahatin kamu! Kamu harus berani ngelawan kalau ada yang nyerang padahal kamu nggak salah!” tegas Halilintar. “H-Huh? Maksudnya? Aku nggak enak sama mereka Li... Mereka orangtua aku... Bukannya kita harus berbakti kepada orangtua?” lirih Taufan.

“Berbakti, bukan jadi pelampiasan emosi. Kamu berhak bahagia, Taufan. Apalagi kalau yang nyakitin kamu itu orangtua tiri kamu, mereka 'kan nggak ada hubungan darah sama kamu. Ayolah, tunjukkan kalau kamu itu cewek tegas dan gak menye-menye yang nggak gampang diinjak-injak siapapun!” pesan Halilintar bersemangat.

“Mau sampai kapan kamu korbankan kebahagiaanmu sendiri demi mereka? Padahal, mereka aja nggak peduli kamu hidup bahagia atau nggak. Kamu harus berani membela dirimu sendiri, Taufan!” kata Halilintar.

Taufan mengusap air matanya. “Kamu benar. Percuma aku tangguh kalau aku tidak tegas. Untuk apa tabah kalau tabahnya malah dijadikan peluang orang lain untuk menyakitiku?” kekeh Taufan. “Bagus. Kamu sudah mengerti apa maksudku. Lupakan mereka, kamu fokus aja sama keluarga kecil kita dan adek kamu. Karir dan pendidikan juga boleh kalau kamu masih berambisi untuk mengejar cita-citamu.” ucap Halilintar sambil menyunggingkan senyuman manisnya.

“Kamu baik banget, Hali. Aku nggak nyangka bisa dapet calon suami sebaik kamu.” puji Taufan. “Dalam pernikahan itu, istri dituntut untuk menaati suaminya, kecuali jika kemauan suaminya bertentangan dengan syariat agama. Nah, demi mempersiapkan itu semua, aku harus benar-benar matang. Aku harus membuatmu bahagia, supaya kamu tidak merasa terbebani kalau nanti menjadi istriku.” ucap Halilintar.

Tanpa sadar, ada rona merah di pipi Taufan saat Halilintar mengucapkan kata-kata manis. Uhuk, benih-benih cinta mulai tumbuh.

Bersambung.....

.
.
.
.
.

Bucin dulu gak sih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bucin dulu gak sih. Kita bikin romantis, bikin paling romantis~ eak :v

Gara-Gara Ketuker: HALITAU [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang