Bab 24: Penyesalan

200 17 7
                                    

Berita kehamilan Taufan telah tersebar kemana-mana, hingga sampai ke telinga Aryo, Imas, dan Nana. Kini nasib Aryo dan Imas semakin menyedihkan, karena ia dipecat dari bank tempatnya bekerja dan ditolak di perusahaan manapun.

“Mas, kamu masih bisa bertahan, 'kan? Tolong hidup lebih lama, kita pasti bisa mendapatkan biaya untuk mengoperasi rahimmu.” bujuk Aryo. “Aku nggak tau, Yo... Kata dokter, kanker rahimku udah menyebar sampe paru-paru dan ginjal...” lirih Imas yang terbaring lemas di atas ranjang.

“Maafin aku, Mas. Aku akan berusaha semampuku supaya kamu bisa segera dioperasi.” lirih Aryo tampak berputus asa.

Yaa Allah, tidak ada pilihan lain selain mendatangi Taufan dan suaminya yang sekarang untuk mendapatkan pekerjaan. Mana cicilan kontrakan nunggak lagi. Ini kalau tetap nggak ada penghasilan, bulan depan kami sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Karena Pak Hali-lah yang membuat namaku diblack-list oleh perusahaan manapun. Kalau begini, bagaimana aku dan istriku bisa hidup?” batin Aryo agak menyesali perbuatannya pada Taufan dulu.

“Sebentar, ya. Aku mau pergi ke rumah Pak Hali dan Bu Taufan dulu.” pinta Aryo. “Ke rumah istri pertama kamu? Mau ngapain Yo? Kalaupun kita mau pinjam uang, kita sudah tidak punya malu di mata mereka!” cicit Imas.

“Aku nggak mau meminjam uang, aku hanya minta untuk mengembalikan kepercayaan orang-orang padaku. Lagipula, aku masih sehat, aku mampu untuk bekerja.” bujuk Aryo. “Terserah kamu saja, Yo. Aku mau istirahat saja.” kata Imas memejamkan matanya.

Maafkan aku, Imas. Tak seharusnya aku membuatmu hidup serba susah seperti ini. Tapi, dulu aku lebih menyusahkan Taufan selama menjadi suaminya. Bahkan aku tidak pernah menafkahinya dan berselingkuh denganmu tanpa sepengetahuannya. Kukira dengan hubungan kita, aku bisa mendapatkan keturunan dengan lebih mudah. Aku memang laki-laki yang tak becus mengelola rumah tangga!” sesal Aryo dalam hatinya, namun ia sendiri bingung harus berbuat apa.

***

Pindha samudra pasang, kang tanpo wangenan~ tresnaku mring sliramu, saaayaaaangggg~” Taufan bernyanyi-nyanyi sambil menyirami tanaman di depan mansion. Mansion Hali memang tampak hijau di bagian depan karena berbagai jenis tanaman yang tumbuh subur, sedangkan belakang mansion ada kolam renang.

“Assalamualaikum...” lirih Aryo. “Waalaikumussalam!” Taufan menjawab salam sambil melirik dari balik pagar. “Maafkan aku, Fan. Aku tau dulu aku suami yang jahat. Aku tau dulu aku suami yang kejam. Kamu pantas membenciku, Fan. Aku takkan menyalahkan perasaanmu.” Aryo membungkukkan badannya, tak berani menatap Taufan sedikitpun. Jika dulu Aryo dengan sinis mendongakkan kepalanya hingga Taufan yang membungkuk, kini giliran Aryo yang bahkan tak berani untuk menunduk. Baginya, itu masih kurang untuk menghormati Taufan yang sekarang.

“Tak perlu basa-basi, Mas. Masa lalu ya mas lalu, yang sekarang ya yang sekarang, jangan dicampur-adukkan. Langsung ke intinya saja, ada perlu apa kesini?” kata Taufan dengan ekspresi datarnya.

“Aku ingin orang-orang kembali percaya padaku, Fan. Aku ingin bekerja. Kondisi Imas sudah sangat memburuk, aku butuh uang untuk biaya operasinya sebelum penyakit kanker rahim menggerogoti lebih banyak organ tubuhnya. Bahkan, ginjal dan paru-parunya ikut terdampak karena penyakit itu, aku takut kalau tidak segera dioperasi, bisa berujung kematian.” jelas Aryo.

“Nanti aku tanya Mas Hali, ya. Karena yang bisa memutuskan pemecahan masalah ini ya cuma Mas Hali, aku nggak berhak ikut-ikutan. Mas Hali lagi mual dan pusing di rumah, makanya dia jarang keluar rumah sekarang.” lagi-lagi ucapan Taufan membuat Aryo menghela nafas panjang.

“Aku butuh solusi yang terbaik untuk kita, Fan. Aku ingin solusi yang sama-sama menguntungkan baik itu di pihakku ataupun pihak Mas Hali. Semoga ada jalan untuk ini.” cicit Aryo. Sejujurnya ia sudah sangat malu pada Taufan, tapi untungnya Taufan masih mau meresponnya.

“Ada apa ini?” tanya Hali yang entah muncul darimana. Kebiasaan emang si Hali, datang tak diundang pulang tak diantar, untung bukan jailangkung ya.

“Mas Aryo pengen bisa kerja, Mas. Namanya sudah di-blacklist sama seluruh orang yang punya lowongan kerja di kota ini. Kanker rahim istrinya makin parah, makanya dia berusaha bertahan hidup juga dan cari biaya untuk operasi istrinya.” terang Taufan.

“Baiklah. Tapi, kamu harus merantau, Yo. Percuma saja kalau kamu dan istrimu tetap disini, tidak ada lagi orang yang percaya denganmu di kota ini. Mulailah kehidupan baru di tanah rantaumu.” usul Hali. “Kalau saya sih nggak masalah, Mas. Tapi, saya kasihan sama istri saya. Mau diajak ikut takut kondisinya melemah, mau ditinggal disini takut nggak ada yang ngerawat.” lirih Aryo.

Ting ting jerrr!!!

Ponsel Aryo berbunyi, tanda ada telepon. “Halo? Imas? Kamu kenapa? Aku lagi di rumahnya Taufan.” kata Aryo. “Apa?! Innalillahi wa innailaihi rojiun...” Aryo menitikkan air matanya.

“Kenapa, Mas?” tanya Taufan. “Imas meninggal dunia, Fan. Dia sudah tak kuat dengan penyakitnya. Ini yang nelepon tetanggaku pakai hapenya Imas. Aku pulang dulu ya.” pinta Aryo dengan wajah menahan tangis.

“Turut berdukacita.” lirih Hali dan Taufan bersamaan, memandang Aryo yang mulai menjauh dengan rasa prihatin.

Bersambung.....

.
.
.
.
.

Awoakowkaowkw mumpung lagi ada ide yakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Awoakowkaowkw mumpung lagi ada ide yakan.

Gara-Gara Ketuker: HALITAU [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang