Bab 47 : Purnama Sakral

1.2K 128 21
                                    

"Air laut yang tenang, tidak benar-benar tenang seperti yang terlihat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Air laut yang tenang, tidak benar-benar tenang seperti yang terlihat. Ada sebab dan akibat dari setiap pilihan yang diambil."

~Syazwan~

•••

Kehidupan manusia di Bumi dengan arahan aturan Tuhan. Tidak ada siapapun yang dapat hidup tanpa mengikuti aturan Tuhan yang ditetapkan. Tanaman, hewan, manusia dan makhluk hidup lainnya berjalan di aturan masing-masing. Tidak ada yang bisa melewati garis kecuali melawan aturan Tuhan dan menerima konsekuensi nanti.

Ketenangan hati adalah kunci manusia menjalani kehidupannya dengan damai.

Malam purnama tanpa halangan memancarkan kehangatannya. Hatinya menghangat, senyumnya mengulas mengingat wajah seseorang. Tangannya menutup buku dan meletakkannya di meja samping badannya. Kepalanya mendongak, mata birunya menatap bulan dengan perasaan tidak tergambar.

Afif beranjak dari duduknya dan menyusuri sekitar jalan dekat rumahnya. Matanya tidak sengaja bertemu dengan rombongan santri yang berjaga malam. Santri-santri itu menyapa dengan ramah. Ia menganggukkan kepalanya dan lanjut berjalan-jalan hingga berhenti di halaman masjid.

Matanya menyusuri wanita-wanita yang duduk di teras masjid, mencoba menemukan istrinya. Keningnya mengeryit, merasakan tidak ada hawa istrinya di rombongan wanita-wanita yang tengah belajar dengan Ning Halimah.

Afif menundukkan kepalanya dan setia berdiri hingga santriwati pergi satu persatu. Seorang santriwati yang ia kenal sebagai teman dekat istrinya menyapanya.

"Afwan, Gus cari Laura?"

Kepalanya mengangguk, sedangkan matanya mengedar ke teras dan tidak menemukan manusia selain Ning Halimah dan santriwati lain.

"Di mana istri saya?" tanyanya tanpa memandang ke arah Khadijah.

Khadijah menghela nafas, "Duh, Laura gak masuk kelas Gus. Gak tahu dia pergi ke mana. Ana kira Gus gak kasih izin."

"Sekarang tanggal berapa?"

"20-"

"Syukron nggeh." Afif mengolah jawaban pendek itu dengan cepat. Kakinya spontan berbalik badan dan bergegas menuju suatu tempat.

Ia menarik nafas dengan terengah-engah sesampainya di wilayah barat pesantren. Matanya mengedar, mencoba mencari satu titik di mana bisa menampakkan keindahan bulan purnama.

Senyumnya sumringah menangkap punggung yang ia cari. Kakinya bergegas berlari mendekat dan memanggilnya dengan rindu. Padahal baru beberapa jam mereka tidak bertemu dan berbincang.

"Laura, kamu ngapain disini? Gak takut sepi?" Mengingat lokasi lapangan lumayan jauh dari rumah dan keramaian santri, tentu tidak mungkin wanita itu berani.

"Neng?" Panggilnya lagi saat wanita itu tidak menyahut. Afif menepuk bahunya dan senyumnya luntur saat sebuah pertanyaan terlontar dari wanita itu.

"Kamu bahagia mendapatkanku?"

SyazwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang