#Bab 51 : Ikhlas bukan Merelakan

565 79 34
                                    

Bukan melupakan, bukan mencari, bukan mengganti, bukan merelakan tapi belajar ikhlas bahwa yang kamu inginkan telah pergi memilih takdir yang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan melupakan, bukan mencari, bukan mengganti, bukan merelakan tapi belajar ikhlas bahwa yang kamu inginkan telah pergi memilih takdir yang lain.

-Syazwan

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Suasana kota Bekasi yang terik cukup menyilaukan pandangan mata, sangat berbeda jauh dengan daerah di dekatnya. Konon katanya Bekasi dikenal sebagai kota yang memiliki iklim berbanding terbalik dengan kota Bogor yang dikenal terkenal dengan sebutan kota hujan.

Di bawah rimbunnya pepohonan, matanya menyusuri jalan dan bangunan. Sesekali mengecek gawainya dan melihat letak lokasi yang dikirim lewat via pesan online.

Tangannya menyibak kain hijabnya yang terbang akibat angin. Setelah matanya melihat lampu merah telah menyala, kakinya berlarian menyebrang jalan bersama pengguna jalan lainnya.

Di layar gawainya, jam menunjukkan pukul 2 siang hari dan sejam lagi waktunya shalat asar. Dengan modal membawa handphone dan uang seadanya, Laura nekad keluar dari penginapan hotel saat Gus Afif sedang meeting dengan panitia menyiapkan acara nanti malam.

Bukan bermaksud bertindak gegabah, ada urusan mendesak yang ingin ia selesaikan. Dengan naik taksi dan pergi ke suatu tempat, Laura bergegas menuju ke titik yang dikirim oleh nomor acak.

Matanya berhenti saat ada seorang pemuda melambaikan tangannya di teras coffe shop dan Laura bergegas menghampirinya.

"Darda?" tanya Laura memastikan nama pemuda di depannya.

"Nggeh, apa kabar?"

"Alhamdulillah, gimana kabar mereka?"

"Sehat wal-afiat. Mbak kesini udah kasih tahu Gus?"

Laura menggelengkan kepala, "Gak yakin dia kasih izin pergi ke sini. Oh iya, katanya kamu benar-benar kenal?"

"Mbak Hilya?" Laura menganggukkan kepalanya.

Darda tersenyum dan mendorong botol minum ke arah Laura, "Minum dulu, Mbak."

Laura menerima tawaran airnya dengan baik, "Udah bisa mulai?"

Darda menghela nafas panjang, "Panjang ceritanya dan kalo Mbak gak paham, boleh nanya ulang." Darda berpikir keras hendak memulai dari mana, "Oke, Darda mulai dari awal."

"Saya tau sebatas Gus Afif sering berkunjung dan main ke rumah Gus saya, Gus Hanaf. Beliau-beliau sering bertukar pikiran atau sekadar bergurau biasa di pendopo. Untuk wanita dengan nama Hilya, " Darda menggeleng kepalanya, "Selama mondok saya belum ketemu dengan wanita itu. Tapi pernah mendengar beliau berdua mengungkit sedikit perihal Mbak Hilya ini."

"Apa yang mereka ungkit?" tanya Laura, penasaran.

"Hanya gurauan ringan, apa Gus Afif serius ingin mengejar Mbak Hilya. Lagipula, Kyai tidak pernah mengekspos siapa Mbak Hilya yang dimaksud. Saya dan beberapa abdi ndalem juga gak pernah lihat ada anak perempuan di lingkungan ndalem, Mbak. Kemungkinan, nama Hilya sebatas cerita beliau-beliau. Kalo Mbak masih penasaran, Darda cuma bisa kasih saran nanya langsung ke beliau."

SyazwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang