30 - Discussion (II)

76 16 3
                                    

Selagi bisa damai ya damai tapi kalau ngelunjak? Sini duel.

***

Seusainya mencicipi masakan spesial buatan chef Clarissa, ia dan Arimbawa duduk di ruang tamu rumah pemuda itu. Clarissa memuji dengan terbuka bagaimana interior design selera Arimbawa. Benar-benar terkesan gentle, soft, dan modern sekali. Gadis tinggi itu meneguk minumannya dan memiringkan badan menghadap ke Arimbawa yang duduk tepat di sampingnya.

"Ini makanan yang diordernya beneran buat keluarga aku?" Tanya Clarissa menunjuk makanan yang tadi dipesan Arimbawa sehingga hampir membuat Clarissa rasanya ingin menangis.

Arimbawa mengangguk dan menaruh gelas minumnya, "Iya beneran, masa saya bohong sih?"

Clarissa mencebik, "Kakak nyebelin. Aku masak susah payah malah order lagi. Aku baru tau kalau Kakak ini tipe orang yang gak menghargai orang."

Pemuda itu terkekeh geli, "Maaf ya?"

Clarissa mengangguk lalu menatap Arimbawa berbinar, "Janji harus ditepati kan Kak?"

"Oke, kamu mau nanya apa?" Arimbawa memberikan senyum tenangnya, berusaha membuka privasi pada gadis pujaannya.

"Kakak... kalau makan harus ditemenin gini ya?" Tanya Clarissa pelan-pelan, bertanya sesuatu yang ganjal menurutnya, "Maksudnya, Kakak selalu ngajak aku makan, makan, dan makan. Kenapa? Padahal kita bisa aja pergi ke taman, mall, bioskop, dan lain sebagainya."

Arimbawa menatap Clarissa dalam, "Saya udah terbiasa."

Clarissa mengernyit, "Terbiasa? Maksudnya?"

Arimbawa menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksidanya secara perlahan, "Dari saya kecil, bahkan mungkin dari baru lahir, saya kalau makan selalu ditemani. Dulu sewaktu balita sering ditemani Mama tapi semakin besar saya selalu ditemani sama Kakak saya." Ada jeda sesaat sehingga membuat Clarissa menatap Arimbawa ragu.

"Kalau gak mau dilanjutin gak papa Kak. Aku gak mau terlalu maksa."

Arimbawa tersenyum, "Saya bukan orang yang suka membuka privasi sebenarnya. Tapi karena saya sudah janji, saya harus tepati."

Clarissa menepuk tangan sekali sebagai semangat bagi Arimbawa untuk melanjutkan ceritanya.

"Kebiasaan itu terus berlanjut. Saya orangnya suka lupa makan, dan Kakak saya selalu ngingetin saya bahkan sering bawain makanan dan makan bareng sama saya. Tapi setelah Kakak saya meninggal... saya jadi semakin lupa makan. Dan karena itu juga saya punya maag."

Clarissa meringis mendengarnya, "Kakaknya Kakak meninggal udah lama?" Tanyanya karena tidak tahu-menahu mengenai kehidupan Arimbawa meskipun pemuda itu termasuk dalam daftar cowok ter-inginkan di sekolah. Maklumlah. Clarissa ini terlalu buta sama satu orang sehingga yang lain ya hanya sekedar cuci mata sekilas.

"Lima tahun yang lalu saat Kakak saya kelas dua belas dan saya kelas satu SMP."

Clarissa dengan ragu-ragu meraih jemari Arimbawa dan membelainya lembut. Arimbawa memang mengucapkannya dengan nada biasa namun Clarissa mengerti bahwa perasaan Arimbawa sedang tidak baik. Arimbawa tersenyum teduh dan membalas genggaman Clarissa.

"Meninggal kenapa?" Tanya Clarissa dengan nada pelan.

"Kalau kamu ngeliat di internet, Kakak saya meninggal karena kecelakaan. Tapi nyatanya bukan. Dia meninggal karena terbunuh."

Clarissa membelalak, "Dibunuh? Sama siapa?"

Arimbawa tersenyum getir, "Sahabat yang berkhianat."

Clarissa merasakan genggaman Arimbawa semakin mengerat. Merasa tidak ada baiknya membahas hal itu, Clarissa memilih keluar dari topik sensitif.

BEHIND THE SELLERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang