1

369 16 4
                                    

─── Aku ingin mendedikasikan dokumen ini kepada semua orang, baik yang sudah berpisah maupun yang masih bersama.


Salah satu penyair favoritku berkata : "Ada satu cerita, dan hanya ada satu cerita, yang layak diceritakan secara mendetail". Menurutku, inilah ceritanya.

Urutannya seperti seekor kelinci berekor panjang :

Ada seorang peramal buta di depan mulut gang memberitahuku kalau kehidupan percintaanku akan seperti diterjang gelombang, dan aku akan terjerat dengan seorang pria yang mana sepanjang hidupku akan selalu mengalami kepahitan, dan aku tidak akan berakhir dengan baik.

Aku menaruh sisa minuman sodaku di tangannya, menepuk pantatnya, lalu pergi.

"Hei, kamu belum membayarku!". teriak orang buta itu dari kejauhan.

"Kamu bahkan tidak tahu kalau aku laki-laki atau perempuan dan kamu masih berani meminta uang? Jika aku tidak menghancurkan lapakmu, itu berarti aku sedang berbaik hati".

Di atas adalah isi utama dari catatan pertama buku harian di awal tahun SMA, dan guru berkomentar : "Membeberkan takhayul sampai seperti itu dan kata-katanya sangat tidak sopan".

--PERJALANAN PULANG YANG JAUH--

Kecuali soal esai aku selalu gagal dalam mendapat nilai tinggi karena jauh dari topik atau bahasanya yang tidak elegan. Dari semua mata pelajaran pada dasarnya nilaiku sangat bagus, sederhananya, aku hampir menjadi siswa terbaik, jadi sebelum nilai ujian tengah semester keluar, aku bertaruh dengan si Gemoy dan yang lainnya, kalau aku akan masuk lima belas besar. Ini masih perkiraan saja, tidak masalah jika esai bisa lolos apalagi menduduki peringkat lima besar.

Ketika hasil keluar, aku masuk dienam belas besar.

Tanpa berkata apapun, aku langsung mengajak orang-orang termasuk si Gemoy untuk makan mie goreng spesial di kantin sekolah. Dua mangkuk besar per orang menghabiskan setengah dari biaya hidup untuk satu minggu (Saat itu, orang tua memberiku uang seminggu sekali). Jelas kali ini prestasiku sangat bagus, hanya saja masih belum bisa masuk lima belas besar.

Ketujuh kertas ujian itu aku periksa kembali nilainya satu per satu. Dalam keseluruhan, bahasa Mandarin 87, matematika 90, bahasa Inggris 92, fisika 89, budi pekerti 86, dan sejarah 69. Pantas saja tidak masuk karena nilai sejarahku berada di bawah 70. Tanpa semangat, aku ambil kembali lembar jawaban itu dan memeriksanya dengan seksama untuk menemukan barangkali ada satu-dua kesalahan dalam perhitungan nilai.

Bahkan seorang Lu Feng saja yang berada di lima belas besar dari kelas kami, dan itu hanya selisih satu poin saja dariku. Andai saja bisa menjawab satu pertanyaan saja sudah dipastikan aku akan menjadi saingannya. Ini bukan soal kesombongan, tetapi sebuah pertanyaan apakah dalam satu minggu ini masih bisa makan atau tidak.

Pengecekan ini membuat pembuluh darahku membengkak, darahku melonjak, aku sangat senang ketika semua jawaban pilihan ganda semua benar, tetapi guru hanya memberiku tanda centang merah besar saja, tidak ada tambahan poin sepuluh ataupun  dua puluh.

Dua, dua puluh poin... Lima belas saja sudah dapat mematahkan orang-orang, apalagi dua puluh.

Sebenarnya aku masih terbaring malas di atas tempat tidur di dalam asrama dengan delapan tempat tidur lainnya yang seolah-olah menunggu kematianku, segera aku merangkak turun dari tempat tidur dengan semangat yang berapi-api, memakai sepatu, dan langsung akan menemui si Gemoy untuk meminta uang mie goreng tadi, setelah itu pergi ke kantor untuk menanyakan nilai. Tiba-tiba, aku mendongak dan melihat sosok Lu Feng datang dari arah berlawanan dengan penuh semangat, memegang dus berwarna di tangannya.

DUA JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang