40

44 2 0
                                    

Aku menahan napas sejenak.

Dengan paksa pintu kamar tidur itu dibuka, dan setelah membuat keributan, Lu Feng berbalik ke arah dapur.

"Xiaochen, keluar! Ada yang ingin aku katakan padamu!".

"Kakakku tidak ada di sini! Apa yang kamu lakukan!!". Yichen menutup pintu dapur untuk menyembunyikan kebenaran.

Aku yang masih di ruang gelap mendengar suara dua orang yang saling berjuang, jantungku berdebar kencang.

Yichen mengerang kesakitan. Aku tidak tahan lagi, tidak peduli aku membuka pintu. "Yichen! Kenapa!".

Yichen terbaring di bawah sambil menutupi memar di wajahnya. Dia tampak kesal. "Kenapa kamu ke sini!".

"Sakitkah?". Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya untuk membantunya berdiri, lalu dengan hati-hati menyentuh wajahnya yang terluka.

"Tidak, tidak apa-apa...". Yichen masih menahan sakitnya.

Aku mencari kotak obat dan berkonsentrasi mengobati adikku. Jelas aku tutup mata terhadap orang ketiga.

Ekspresi terkejut dan bahagia Lu Feng perlahan kembali membeku, dia menatapku dengan wajah dingin.

Saat dia menatapku dengan penuh perhatian, aku tetap penuh perhatian pada adikku.

"Xiaochen".

Aku mengangkat kepala menatapnya dengan tenang, seolah-olah aku sedang berhadapan dengan orang asing.

"Pulanglah denganku...".

"Kamu terluka". Aku menyerahkan obat cair. "Oleskan".

Dia tersentak seolah tidak percaya. Sementara tangan yang sedang memegang obat itu sedikit gemetar.

"Sudah selesai, tolong pulanglah".

Dia berhenti sejenak, mengangkat kepalanya dan menatapku dengan seksama. "Kamu... Masih belum mau memaafkanku? Sebenarnya aku...".

"Kamu tidak perlu menjelaskannya lagi".

Dia membeku.

"Aku memaafkanmu."

Wajah kusam dan tirus itu perlahan menampakkan rasa lega dan bahagia.

"Bisakah kamu pulang sekarang?"

Dia berdiri dengan kaku. "Xiaochen...".

"Lu Feng, aku tahu apa yang ingin kamu katakan". Aku menyela. "Tapi kita tidak bisa kembali, mengerti?".

Dia menatapku dengan tatapan kosong, tatapan itu memaksaku untuk tidak membuka mataku. "Aku tidak bisa membencimu, tapi untuk kembali bersama seperti dahulu, seperti lima tahun yang lalu rasanya tidak mungkin... Lu Feng, kita sama-sama telah dewasa, tidak sudah seperti dahulu".

"Apa bedanya?". Lu Feng berkata dengan suara parau.

"Aku… Tidak mencintaimu lagi".

Dia berdiri tanpa bicara. Hanya menatapku dalam diam.

Aku menoleh untuk menutupi tubuhku dan segera membantu Yichen berjalan ke kamar tidurnya. "Pulanglah. Hati-hati di jalan".

Mengapa harus sedih dan tidak berdaya? Bukankah aku sudah memaafkanmu? Bukan kamu yang terluka, kan?

"Tidak masalah". Tiba-tiba Lu Feng berbicara, seperti sulit untuk berkata. "Tidak masalah jika kamu tidak mencintaiku".

Aku berdiri membelakanginya.

"Kita pelan-pelan saja, sampai kamu bisa mencintai".

"...".

"Kita masih punya waktu sisa hidup... Untuk kembali, tidak peduli seberapa jauh kita melangkah pasti bisa kembali".

Aku tertawa datar. "Diantara kita.... Itu bisa menjadi waktu yang sangat lama".

"Bagaimana kalau menikah? Setelah menikah akan punya waktu seumur hidup, benar kan? Selamanya, tidak akan ada apapun yang tidak bisa dilakukan, tempat apa yang tidak bisa dijangkau? Kita bisa...".

"Silakan keluar". Aku langsung menyela. "Keluar!!".

Dia mematung tidak berkata apa-apa.

"Yichen, suruh dia keluar, aku tidak ingin melihat orang ini lagi". Aku terus membelakanginya, tidak berani menoleh ke belakang.

"Xiaochen, kembalilah bersamaku. Beri aku waktu, kita bisa seperti dahulu...".

"Konyol". Aku hanya bisa mengeluarkan kata itu, tidak bisa mengeluarkan lebih.

Yichen berjalan membuka pintu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Setelah ada keheningan beberapa saat, aku mendengar suara langkah kakinya perlahan keluar.

Langkah itu seperti berjalan menembus hatiku.

"Ayo, kita makan malam". Aku dengan senang hati mengeluarkan nasi goreng telur itu. "Yahhh... Sudah dingin. Mau aku panaskan? Tadi sedikit kurang garam juga...".

Tik...

Ada tetes air yang jatuh ke atas nasi. Aku membeku, setetes air jatuh lagi menyusul.

Yichen bingung. "Kakak ... Jangan menangis".

"Omong kosong, siapa... Yang menangis...". Aneh kenapa tidak bersuara.

Ternyata aku memang  menangis... Ternyata... Apakah aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini?

Meninggalkan orang itu dan hidup bahagia. Apakah aku salah dengan pilihan ini?

------------

"BMKG mengatakan malam ini suku akan membeku". Yichen hendak menutup gorden dan bersiap untuk tidur. Aku tidak tahu kenapa dia berdiri lama di depan jendela dan mengatakan hal yang tidak masuk akal.

"Mmm". Aku menunduk mengetik papan tombol. Menerima koin yang berserakan, seringkali melakukannya bahkan hingga larut malam.

"... Kak, kamu harus tidur lebih awal".

"Kamu duluan saja tidur, aku mungkin sampai jam tiga". Aku melakukan kesalahan berulang kali dan aku benar-benar lesu.

Yichen ragu sejenak. "Kalau kamu tidak tidur, dia bisa mati kedinginan".

Tanganku gemetar, dan aku menekan tombol yang salah lagi.

Melihat ke luar jendela, tiba-tiba muncul bayangan gelap di bawah cahaya lampu jalan, dengan postur yang aneh dan sifat keras kepala yang mendominasi.

Lampu itu berkedip dua kali dan tiba-tiba padam, memudarkan bayangan hitam itu sampai akhirnya sirna, hanya menyisakan cahaya titik merah terang yang tidak bergerak.

Aku menutup paksa gorden, lalu mematikan lampu.

Hanya sedikit cahaya dari balik gorden yang tersisa di dalam ruangan.

Ketika hendak pergi tidur setelah memainkan papan tombol yang penuh celah, titik cahaya merah itu masih menyala.

"Kak".

Tidak tahu Yichen yang memang belum tidur atau mungkin dia terbangun, dia langsung mengulurkan tangannya dan memelukku erat, pelukannya begitu hangat.

"Aku sangat takut kamu akan pergi bersamanya".

"… Bodoh".

"Aku yakin kamu bisa saja". Dia bertingkah seperti anak kecil yang sedang merajuk.

"... Tidak akan". Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya.

----------

Aku tidak bisa tidur sampai waktu yang lama, tiba-tiba langit sudah terang saja. Akupun bangun walau mata ini masih berat, tubuhnya yang menekan membuat seluruh badanku sakit.

Aku beli sarapan dan langsung kembali.

Saat dibawah, ketika melewati lampu jalan itu tidak ada apapun selain puntung rokok yang berserakan di mana-mana.

Di tengah pikiran kalut aku memandang langit kota yang kelabu, dan cahaya tipis matahari musim dingin yang pucat.

Tiba-tiba mataku terasa perih.

Aku segera menundukkan kepala dan melanjutkan langkah berjalan lebih cepat menuju rumah.

DUA JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang