3

68 7 1
                                    

Bagi Lu Feng tempat belajar dapat dijadikan sebuah fenomena tertentu yang jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi sama sekali.

Sebagian besar dia menghabiskan waktunya untuk berkelahi, membuat masalah di luar sekolah. (Seperti disebutkan sebelumnya, ini adalah sumber pendapat yang abu-abu namun penting bagi sekolah kami)

Belum lama ini, ada seseorang membuka game center dekat sekolah yang dipaksa agar memberi potongan harga oleh seorang siswa nakal terkenal. Saat itu era di mana kekerasan di sekolah sedang merajalela, orang-orang yang melihatnya serasa menonton adegan dalam film gangster dengan pertarungan senjata, dan secara spontan menyebutnya sebagai tokoh utama. Menghajar orang dengan brutal, memukul kepala orang dengan botol minuman membuat mereka merasa menjadi ketuanya dan dianggap sebagai seorang pahlawan.

Sebagai teman yang bersembunyi di balik gelar pahlawannya membuat orang-orang merasa iri. Hanya aku yang bisa mengerti kenapa aku selalu mencoba untuk menghindar dari orang yang berada di sampingku yang baru saja menyapa guru-guru dengan suara yang keras setelah keluar dari Kantor Kepala Sekolah.

"Xiaochen, main es skating yuk, aku mengajakmu".

"Tidak mau, jangan harap kalau tidak ada prestasi".

Percakapan ini sudah biasa terjadi di antara kami. Lu Feng kaya dan loyal kepada teman-temannya, tetapi aku tidak akan pernah meminta maupun menerima bantuan tanpa alasan. Ayahku menggunakan kemoceng untuk mendidikku dan adikku sejak usia dini. 'Satu jangan mencuri, jangan serakah meskipun terhadap hal-hal kecil karena akan membuat kita tidak punya harga diri'. Itulah sebabnya, Lu Feng dan aku sangat berbeda. Ibarat kata, jika pergi mendaki gunung dan meminum airnya, maka gunung itu akan meminta bayaran disetiap tetesnya. Aku rasa aku sudah benar, tetapi dia seperti tidak mau menerima.

Benar saja, dia mengangkat alisnya dan memelototiku dengan tajam. Setelah menatap lama dan melihat kalau aku seakan acuh tak acuh, diapun mengubah nadanya dan berkata, "Kamu telah banyak melakukan pekerjaan bagus. Dua kali kamu kalah, maka izinkanlah aku mengucapkan terima kasih".

"Hah?".

"Satu, esai yang kamu tulis untukku itu juara satu. Dua, ayahku memberi hadiah besar".

Seketika aku merasa tidak bertulang

Mmmm, bagaimana bisa?  Tulisan yang banyak mengandung kata-kata makian itu benar-benar juara pertama?

Huhu, kenapa bisa jadi begini? Aku saja belum pernah juara, tapi hanya dengan tiga ceker ayam sudah bisa juara untuknya...

-----------

Pada saat itu es skating sangat populer di kalangan anak SMA karena suasana di sana memang sangat cocok untuk melakukan tindakan modus. Anak laki-laki akan mengajak seorang gadis cantik yang mereka sukai untuk bermain es skating, dengan mengatasnamakan mengajarkan, mereka akan memegang tangannya dan menopang pinggangnya, dan kalau terjatuh otomatis mendarat ke pelukannya. Jika sudah selesai, mereka berdua akan dilanjutkan dengan kencan, dan si pria akan merasa beruntung jika cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

Saat mengganti sepatu di luar arena, orang-orang terus menyapa Lu Feng.

"Afeng, kamu tidak membawa kuda cantikmu hari ini?".

"Afeng, kamu datang sendirian?".

Sial, aku ini laki-laki, memangnya aku bukan manusia?

Bahkan aku saja belum pernah menyentuh tangan seorang gadis sampai sekarang, aku merasa tidak nyaman.

"Hei, sepertinya hidupmu sangat kacau. Sudah berapa banyak gadis yang kamu bawa untuk bermain es skating?".

"Tunggu aku hitung...".

DUA JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang