Pagi itu, aku berjanji untuk bertemu dengan Tama. Sudah hampir dua minggu aku tidak bertemu dengannya. Kali terakhir kami bertemu adalah pertemuan yang sangat menyakitkan, pukulan di kepala dan tanganku masih terasa sakitnya.
Setiap kami bertengkar, pasti dia akan membuat jarak denganku dan muncul beberapa minggu kemudian untuk meminta maaf dan mengucapkan banyak kata manis.
Memuakkan sekali bukan?
Tama sudah menungguku di pantai, tempat biasa kami bertemu. Dari kejauhan dia sudah tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahku
"Neaaa, di sini," teriak Tama.
Pelan pelan aku menghampirinya.
"Are you ok?" Tanya nya.
"Ya menurut ngana," jawabku dalam hati.
Aku mengangguk pelan. Melihatku mengangguk, senyumnya makin lebar. Aku muak sekali melihatnya.
"Nea, kamu tau kan aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin kehilanganmu, Neana,"
Aku tak menjawab apapun yang dia katakan karena aku sudah malas mendengarnya mengoceh lebih banyak lagi.
"Nea, bagaimana kalau kita menikah?" Tanyanya padaku.
Pertanyaan yang membuatku terhenyak dan seketika menelan ludah.
"Apa maksudmu? Menikah?" Aku memastikannya sekali lagi.
"Iya, kamu mau kan? Kamu tau kan hanya aku yang mau menerimamu? Jadi bagaimana jika kita menikah? Aku akan berbicara pada orang tuamu,"
Aku kembali terdiam, aku benar benar tidak menyangka apa yang baru saja Tama bicarakan padaku.
"Aku butuh waktu untuk berfikir,"**
Baru saja aku membuka pintu rumah, ibuku sudah menunggu di ruang tamu. Aku sudah bisa membaca raut wajahnya. Raut wajah yang membuatku ingin sekali memeluknya.
"Nea, ibu ingin bicara," ibuku memanggil dan mempersilahkanku duduk.
"Aku capek bu, nanti saja. Aku mau istirahat," aku tak menghiraukan ibuku.
Ibu tak mencegahku untuk berlalu. Ku langkahkan kakiku untuk masuk kamar. Tempat pertama yang ku tuju adalah kamar mandi, ku basahi badan dan kepalaku dibawah shower. Mencoba membiarkan air dingin membuat dingin isi kepalaku.*
Tok... tok... tok.....
Pintu kamarku diketuk dari luar.
"Nea, ayah mau bicara," suara ayahku menggema dari balik pintu.
Tangisku pecah. Aku membekap mulutku dengan bantal agar suara tangisku tak terdengar.
"Nea, terima saja lamaran Tama. Ayah tau dia orang baik. Ayah akan persiapkan semuanya," teriak ayahku dari luar.
Aku makin menangis sejadi jadinya. Seandainya ayahku tau perlakuan Tama padaku, apakah dia akan tetap melanjutkan rencana pernikahan ini.
Sama sekali aku tidak membuka pintu malam itu.*
Esok harinya,
"Nea, buka pintunya..." suara seseorang yang kukenal.
Ku rasa suara itulah yang ku butuhkan saat ini.
"Iya, Nea buka pintunya. Ada aku dan mama," terdengar suara lain.
Tante Mini dan Kak Nana.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan membuka pintu. Aku memeluk tanteku dan disambut pelukan tante dan Kak Nana.
"Nea, tante sudah dengar dari ibumu,"
Aku kembali menangis terisak sambil memeluk tante Mini.
"Nea, tante tau yang kamu rasakan. Kamu tidak mau menikah dengan Tama kan? Tante dipihakmu, Nea," jelas Tante Mini.
"Aku harus apa Tante, Kak?" Tanyaku terisak.
"Lanjutkan hidupmu, Nea. Aku sama mamah bantu kamu. Ibumu juga sudah mengijinkan," kata Kak Nana.
"Apa maksud Kak Nana?" Aku kebingungan.
"Kamu tau bagaimana ayahmu, kan? Dia tidak bisa ditolak. Kemasi barangmu, pergilah... tenangkan dirimu. Ibumu mengijinkan," Tante Mini mengusap rambutku.
Aku buru buru mengemasi barang barangku. Pagi itu ayahku sudah berangkat kerja. Hanya ada ibu dirumah. Sembari aku menuju luar rumah, ibu menungguku di depan pintu. Kami berpelukan tak mengucap sepatah katapun.
Ibu mengangguk pelan tanda merestuiku untuk pergi dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyelamat | SUGA BTS
Fiksi PenggemarCerita fiksi tentang seorang gadis yang ditemukan dan diselamatkan suga