Kilas II: "Bayang dan Semu"

96 16 9
                                    

Ketika mendengar kata malam, hal identik yang membayanginya adalah pekatnya suasana langit berhiaskan rimbunan kristal cahaya, maupun terangnya sinar rembulan yang terkadang sering mengintip malu-malu dari balik lapisan awan.

Setidaknya, itu merupakan gambaran yang dimiliki seluruh makhluk hidup ketika menikmati indahnya pemandangan malam, tanpa hujan yang sesekali menghiasinya.

Atau seharusnya, memang seperti itu.

Dan jika diperbolehkan, hal itulah yang sangat diharapkan oleh sesosok gadis khas dengan surai panjang bergelombang madu miliknya.

Bukan bara kemerahan yang berkobar-kobar tepat di depan matanya.

Bukan kerumunan orang yang berseru-seru mengelilingi kobaran api tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan kerumunan orang yang berseru-seru mengelilingi kobaran api tersebut.

Bukan tetesan darah yang tampak mengalir hingga membasahi putihnya tanah bersalju di bawahnya.

Tidak.

Bukan seperti ini.

Sang Gadis sama sekali tidak menginginkan semua ini untuk terjadi.

Maka dari itu.

Sekuat tenaga Sang Gadis terus meronta-ronta tiada henti, agar dirinya mampu segera terlepas dari cengkraman orang-orang di sekitarnya, yang terus menahannya untuk terus berlutut dalam kondisi tanpa daya seperti sekarang.

Meski demikian, itu tak membuatnya segan untuk terus berteriak.

"HENTIKAN!!! HENTIKAN SEMUA INI!!!"

Namun naas.

Tak ada satupun dari orang-orang itu yang mengindahkan permintaannya. Bahkan, Sang Gadis merasakan cengkraman pada tubuhnya semakin mengerat. Ketika dirinya semakin gencar memberontak untuk berlari pergi, demi merangsak masuk ke dalam kobaran api di hadapannya, yang kini tengah membelenggu sesosok pria berambut hitam legam yang terjebak di dalamnya.

Sesosok pria yang justru melempar senyum lembut ke arah Sang Gadis. Seolah-olah Sang Pria tak mengindahkan sama sekali, tentang hal macam apa yang tengah menimpanya saat ini.

Padahal, kini tubuh Sang Pria tengah terancam oleh kobaran api di sekelilingnya, yang perlahan semakin menghimpitnya tanpa daya di dalamnya.

Dengan panasnya rantai yang mengekang tubuhnya.

Dengan anak panah yang menembus tubuhnya.

Dengan sebilah pedang yang menancap di tubuhnya.

Sehingga, aliran darah yang tercipta dari seluruh luka di tubuhnya itu, seakan menjadi saksi nyata betapa Sang Pria sama sekali tidak memiliki kuasa apapun untuk lepas dari jeratan menyakitkan yang menggerogotinya saat ini.

Walau, jika dirinya memiliki kesempatan itu sekalipun.

Sejak awal, Sang Pria memang tidak ada niatan untuk melarikan diri dari takdirnya ini, yang cepat atau lambat telah ia ketahui sejak lama bahwa hari penghakimannya itu pasti akan tiba.

Soul: Lemuria & AgarthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang