BAB 8

63 4 0
                                    

Molly pikir, banyaknya orang di tempat ini setidaknya mampu mengurangi rasa takutnya terhadap Cliff, tetapi ia salah. Tatapan Cliff seakan menyedot seluruh keberanian dalam tubuhnya. Oh, Tuhan! Di sini saja aku takut, apalagi kalau bicara empat mata. Haruskah aku meminta bantuan padanya? batin Molly frustrasi seraya menjauh dari pria itu.

Ia meletakkan kertas pesanan di meja bar yang langsung diambil oleh barista kafe. Molly memejamkan mata sembari menarik napas panjang beberapa kali, berusaha menenangkan diri. Ia bahkan bisa merasakan tubuhnya kembali gemetaran karena takut, bahkan tangan dan kakinya terasa sedingin es.

"Bagaimana? Kamu berhasil bicara dengannya?" tanya Kevin cepat dengan raut penasaran. Baru saja ia berhasil menekan rasa takutnya, walaupun sedikit, rasa itu malah kembali merajai tubuhnya. Pertanyaan Kevin berhasil membuat jantungnya kembali berdebar cepat, memompa rasa takut itu semakin besar hingga membuat napasnya sesak. Molly hanya mampu menjawab dengan gelengan lemah seraya memasang raut memelas.

"Apa kamu mau aku temani, atau ... bagaimana kalau aku saja yang bicara dengannya?" tawar Kevin yang terlihat khawatir dengan kondisinya.

"T-tidak, Kev. Tidak perlu ... d-dia bilang kalau dia t-tidak pernah membicarakan pekerjaan di sini," jelas Molly sedikit gelagapan. Ia terus mencoba menenangkan diri. Namun, setiap kali menoleh ke arah Cliff, seketika itu pula rasa takut semakin merajai tubuhnya.

"Jadi ... kamu pilih yang mana?" tanya Kevin pelan sembari berpura-pura menulis sesuatu di atas buku kerjanya agar tampak seperti sedang mencatat sesuatu.

"I don't know, Kev," jawab Molly jujur bercampur rasa putus asa.

"Pilihanmu hanya dua, Ly. Berkunjung ke kantornya hari Senin atau ke rumahnya," ucap Kevin menjabarkan pilihan yang sudah ia ketahui dengan sangat jelas. Molly tertunduk lemah. Ia benar-benar tidak berani mengambil keputusan saat ini. Jangankan harus memilih yang mana, memikirkan harus berjalan kembali ke tempat Cliff dan menyajikan pesanannya saja sudah membuat Molly mual bukan kepalang.

"Kalau kamu mau ke kantornya hari Senin, kamu bisa ambil off dari sekarang. Tapi, kalau kamu pilih untuk ke rumahnya, kurasa hari Sabtu adalah waktu yang tepat. Jadi, aku bisa segera mencari penggantimu buat besok," saran Kevin tak menyadari seberapa menakutkannya pilihan tersebut. Mendengar saran gila itu, Molly langsung menoleh dengan mata terbelalak.

"B-besok? Kamu tidak salah?" balas Molly ketakutan.

"Lebih cepat lebih baik, Ly," saran Kevin serius seraya menatapnya, "semakin lama kamu meminta bantuannya, maka semakin lama juga kamu menemukan si pembunuh itu."

Kevin memang benar. Tak ada satu pun dari kata-kata Kevin yang salah. Masalahnya, Molly tidak berani. Menemukan si pembunuh adalah tujuan utama Molly saat ini. Namun ... jika meminta bantuan pada Cliff saja ia tidak berani, bagaimana jadinya kalau nanti ia harus berhadapan langsung dengan si pembunuh? Apakah ia sanggup menatap dan menuntut si pembunuh? Atau, ia malah kabur sejauh mungkin demi mencari tempat perlindungan teraman untuk bersembunyi?

"Molly!" tegur Kevin lembut.

"I know, Kev. I know," sahut Molly frustrasi seraya menghela napasnya yang terasa berat, "beri aku waktu untuk menimbangnya. A-aku akan memberitahumu sebelum kamu pulang."

"Baiklah. Itu artinya ... 3 jam lagi dari sekarang," saut Kevin setelah menatap arloji di pergelangan tangannya. Molly mengangguk lemah, lalu mengambil secangkir kopi hitam, kemudian menuju meja saji dan menunggu di sana hingga seporsi beef lasagna diletakkan di hadapannya.

Ia pun berbalik, lalu menatap Cliff dari kejauhan. Jantungnya berdebar cepat, bahkan Molly yakin jantungnya akan meledak dalam sekejap. Akhirnya, ia menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk melangkah menuju meja Cliff. Aku harus berani. Harus!

Can I Trust You? (21+) - The "C" Series No. 4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang