Matahari pagi mulai bersinar. Suara alarm, yang sudah ia pasang sebelum memutuskan untuk tidur, berbunyi nyaring hingga membuat Molly tersentak kaget. Napas Molly terengah-engah seolah dirinya baru saja dikejar sesuatu yang mengerikan.
Ya, ia memang bermimpi buruk. Sialnya, mimpi itu tentang Cliff. Molly tidak menyangka akan memimpikan Cliff, terlebih di saat dirinya berniat menemui pria itu pagi ini. Bulu kuduknya meremang seketika saat mengingat bagaimana ia berusaha sekuat tenaga melarikan diri dari Cliff, sementara pria itu selalu muncul di mana saja. Bahkan, suara Cliff yang berat dan penuh ancaman selalu menggema memanggil namanya setiap kali ia menemukan tempat persembunyian.
Ini gila! Ini benar-benar gila! Rasa takutnya terhadap Cliff sungguh tidak beralasan. Pria itu memang memiliki aura mencekam dan tatapan tajam bak pembunuh berdarah dingin. Namun, tak seharusnya ia setakut ini pada pria itu karena ia belum mengenal Cliff dengan baik. Bukan berarti Molly berniat untuk mengenal pria itu lebih dekat. Tentu saja tidak! Ia bahkan tidak ingin mengenal Cliff selain sebagai pengacara terkenal.
Molly benar-benar tidak berniat memiliki ketertarikan lebih selain yang berhubungan dengan masalah yang akan ia lontarkan pada pria itu nanti. Maka dari itu, sebisa mungkin ia menenangkan diri agar bisa bersikap normal dan tenang. Ia tidak boleh menilai Cliff seburuk dan semenyeramkan itu. Apalagi, hanya Cliff satu-satunya jalan keluar Molly saat ini.
Bunyi alarm membuat Molly mengerut kesal, lalu mengambil ponsel dan mematikannya. Kepala Molly terasa berat karena tidur kurang dari 3 jam. Dengan embusan napas lelah, Molly meletakkan ponsel begitu saja di meja nakas, lalu kembali berbaring meringkuk di bawah selimut.
Semenjak semalam, pikiran dan perasaannya tidak bisa tenang sama sekali. Setiap kali ia menutup mata, tatapan tajam Cliff selalu muncul dan membuatnya gelisah. Rasa takut yang begitu kuat membuatnya memutuskan untuk tetap menyalakan lampu dan memaksa memejamkan mata dalam keadaan terang benderang.
Molly mencoba untuk kembali tidur, tetapi barisan kata-kata yang berusaha ia susun sejak semalam, terus mengisi kepalanya. Molly kesal pada dirinya sendiri karena hingga saat ini ia belum menemukan kalimat yang tepat sebagai pembuka pembicaraan. Cahaya matahari yang bersinar terang, menembus gorden putih jendela kamarnya. Cahaya itu menyentuh kelopak mata Molly dan membuatnya semakin sulit untuk tidur.
Sembari mengerang kesal dan frustrasi, Molly menarik selimut hingga menutupi kepala, lalu berbalik ke sisi lain. Ia berusaha kuat mengusir mimpi buruk itu namun entah mengapa ingatan saat pria itu menyelamatkan dan memeluknya dengan erat kemarin malah mengisi kepalanya. Jantung Molly mulai berdebar sedikit lebih cepat dan napasnya pun terasa berat.
Dengan geraman kesal, Molly mengentakkan selimut, lalu bangkit dari posisi tidur. Ia duduk di tempat tidur dan menatap ruang tidurnya yang tidak terlalu besar. Matanya masih terasa berat namun keinginannya untuk kembali berbaring sudah hilang karena Cliff.
Akhirnya, Molly memutuskan untuk turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar, dan bergegas menuju kamar mandi. Dengan perasaan lelah, Molly menanggalkan pakaian tidurnya, kemudian melangkah ke bawah pancuran. Ia memutar keran dan membiarkan air dingin membasahi kepala hingga ujung kaki, berharap dinginnya air mampu membawa pergi rasa lelah di tubuhnya.
Dalam keadaan diam sembari berusaha menenangkan diri, Molly mencoba menyusun kembali kata-kata terbaik yang bisa ia temukan. Namun, semakin ia berusaha, semakin besar pula rasa takutnya. Helaan napas panjang dan berat menunjukkan bahwa keputusannya untuk berbicara empat mata dengan Cliff merupakan kesalahan terbesar yang pernah ia ambil. Namun ia sudah tak memiliki pilihan. Hanya ini yang harus ia lakukan agar masalahnya cepat selesai.
Molly pun memutuskan untuk mandi secepat mungkin, kemudian mengeringkan tubuh. Dering ponsel yang menggelegar di tengah keheningan yang melingkupi apartemen, membuat Molly bergegas melingkarkan handuk di dada, lalu keluar dari kamar mandi. Akhirnya, ia berhasil menangkap ponsel sebelum terjatuh dari meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Trust You? (21+) - The "C" Series No. 4
RomanceWARNING 21++ !! (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.) ***** Berdarah dingin. Kejam. Menyukai darah. Pecinta...