⠀⠀I.
⠀⠀“Paman Blade, aku mau apel. Boleh?”⠀⠀Blade menunduk pada anak laki-laki delapan tahun yang menggandeng tangan kirinya. “Tentu saja boleh, Al.”
⠀⠀“Yey!” Altan melonjak riang, setengah menarik tangan pamannya menuju penjual apel.
⠀⠀Menahan senyum, Blade mengikuti sang putra mahkota dan membiarkan Al memilih sendiri apel yang ia inginkan. Bagaimanapun, Altan memang berdarah laut. Seperti para siren, ia lebih menyukai makanan segar daripada yang sudah diolah, terutama apel. Mungkin karena apel adalah buah berair, dan siren butuh lebih banyak cadangan air ketika menapak di darat.
⠀⠀Kalau dipikir-pikir, sepertinya bagus juga jika Blade membeli beberapa apel lagi. Pekan ini Lyra dan Carina sedang naik ke darat, mereka pasti senang kalau disajikan buah-buahan. Dibantu Altan kecil, akhirnya Blade memilih sekeranjang apel paling merah dan ranum.
⠀⠀Setelah membayar, mereka kembali berjalan—Blade dengan keranjang apel serta sayuran, sementara Altan memeluk kantung roti dengan satu tangan. Seperti biasa, Al bersikeras ikut Blade berbelanja untuk kebutuhan dapur Windrider, jadilah hari ini ia kembali berperan sebagai asisten koki.
⠀⠀“Paman, kita akan pulang lewat Daar Teze lagi, kan?” tanya Altan sambil mengunyah apel.
⠀⠀Diam-diam, Blade menghela napas. Daar Teze adalah jalan pintas kecil yang biasa ia gunakan dari pasar ke istana atau sebaliknya. Mempersingkat waktu, tapi jalanan itu kecil, melewati semak belukar serta muara. Memang aman—seluruh bagian Novum-Ur selalu aman—tapi tetap saja, sepi.
⠀⠀“Kenapa kau suka sekali melewati Daar Teze, Altan?”
⠀⠀“Al,” anak laki-laki itu mengoreksi, “Altan terdengar seperti nama untuk bayi, dan aku sudah besar.”
⠀⠀“Masih bayi atau sudah besar, namamu tetap Altan.” Blade menggelengkan kepala, tak paham dengan pemikiran bocah delapan tahun. Meskipun begitu, ia tetap membawa Al menuju jalan setapak itu. “Lagipula, kau belum menjawab pertanyaanku.”
⠀⠀“Karena Daar Teze adalah hutan petualangan, Paman! Aku bisa berlatih menjadi pelaut keren yang pergi ke pulau-pulau tak berpenghuni seperti Patrea Hawk!”
⠀⠀Tentu saja, Blade memutar bola mata. “Aku juga pelaut yang pergi ke pulau tak berpenghuni.”
⠀⠀“Tapi-tapi… Paman kan koki.”
⠀⠀“Koki yang bekerja di atas kapal laut, berarti aku pun pelaut,” dengus si paman, “begini-begini, aku juga bisa menggunakan cutlass dan bertarung melawan perompak. Bahkan karena itulah aku kehilangan jari kelingking.”
⠀⠀“Benarkah?” Mata abu kebiruan Altan melebar. “Tapi Patrea Hawk bilang kelingkingmu digigit ikan yang akan kau masak!”
⠀⠀Dasar Hawk sialan. “Mulut Patrea-mu itu tidak bisa dipercaya, Al.”
⠀⠀Altan malah terkikik geli, menggigit lebih banyak apel lagi. Segera setelah apelnya habis, ia melempar bonggol yang tersisa ke belukar di tepi jalan.
⠀⠀Mereka sudah berada di jalur Daar Teze, menyusuri bagian belakang deretan rumah penduduk. Meski sekilas mirip hutan, tapi area ini juga digunakan warga untuk menanam berbagai pohon buah dan sayur. Setelah jalurnya berbelok di dekat pohon beringin besar, mereka harus menyusur muara sungai selama beberapa saat sebelum menyeberangi jembatan kayu ke sisi satu lagi.
⠀⠀Seperti yang dikatakan Altan—dan selalu ia lakukan setiap melewati Daar Teze—anak itu berpura-pura menjadi pelaut yang baru saja mendarat di pulau, berseru-seru sendiri. Sesekali, ia akan mengendap-endap atau mengacungkan hefezopf seperti pedang, melawan musuh tak kasat mata. Di belakangnya, Blade mengikuti sambil bersiul-siul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Of Sand and Shadows
ФэнтезиSetiap mata Hawk terpejam, ia memimpikan darah dan bayangan. Ada yang salah dalam dirinya, suatu kekuatan gelap mengintai. Tapi ketika keluarga Kerajaan Hebra membutuhkan Hawk, ia tak bisa menarik janji pengabdian yang telah terucap. Walau itu artin...