X. Hic Sunt Dracones

1.7K 287 27
                                    

⠀⠀Tepat tiga putaran jam pasir setelah tengah malam, Hawk berdiri di atas jejuri sambil mencengkeram roda kemudi. Para awaknya membuka layar dan mengangkat sauh, siap untuk kembali mengarungi lautan.

⠀⠀Perlahan-lahan, Hawk membawa Windrider keluar dari pelabuhan Nalareth. Mercusuar di puncak salah satu pulau kembar menjadi penunjuk jalan, mengarahkan kapal ke samudera terbuka—Mare Liberum.

⠀⠀Baru saja melewati batas antara Mare Nostrum dan Mare Liberum, Hawk sudah merasakan perbedaan. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi angin dan ombak terasa berbeda—lebih liar dan tak mudah diprediksi.

⠀⠀"Stabilkan jib!" Hawk berseru, dan juru kelat tergopoh-gopoh menuruti perintah sang nakhoda.

⠀⠀Memeriksa kompas dan penanda arah angin, Hawk berperai ke kanan. Mencoba menjinakkan hembus angin yang terperangkap layarnya.

⠀⠀Hingga perlahan, sangat perlahan, Hawk mulai sedikit terbiasa dengan angin liar Mare Liberum. Cengkeraman sang kapten pada roda kemudi terasa lebih santai, dan kepalanya sudah bisa memikirkan beberapa hal lain—misal, betapa lembutnya Carina di bawah sentuhan Hawk.

⠀⠀Sungguh, dalam mimpi terliarnya pun, pria itu tak pernah membayangkan akan tidur bersama seekor siren. Ia terbiasa menjadikan makhluk itu musuhnya, sesuatu yang harus diperangi. Tapi  ternyata, butuh segenap pengendalian diri Hawk untuk bangkit dari ranjang dan meninggalkan si siren. Kalau Hawk bukan kapten Windrider, mungkin dia sudah kembali memainkan jari di antara rambut putih tulang itu. Memuaskan matanya untuk menatap sosok siren yang menyeramkan tapi indah, menjelajahi tujuh warna yang terbias dari ekornya.

⠀⠀Masih setengah mabuk oleh Carina, Hawk membawa Windrider membelah ombak ke arah tenggara. Tanpa sadar, fajar mulai menyingsing di timur, campuran warna jingga dan merah muda mengintip perlahan dari horizon. Matahari mulai memperlihatkan diri, sedikit demi sedikit. Menyepuh laut, layar, dan tiang-tiang Windrider dengan cahaya keemasannya.

⠀⠀Hawk menarik napas dalam, menghirup udara pagi di tengah laut yang selalu terasa menenangkan. Asin, segar, dan membawa harapan atas sebuah hari baru. Harapan-harapan baru.

⠀⠀Jam pasir terus berputar, hari semakin terang. Hawk memicingkan mata. Laut begitu tenang dan angin sendalu mendorong kapal dari buritan. Terlalu tenang, terlalu mudah. Seperti biasa, keadaan seperti ini malah membangkitkan kecurigaan di dada Hawk—jangan-jangan akan ada yang terjadi…

⠀⠀Pintu geladak depan terayun membuka, menampakkan Blade yang tersenyum lebar. "Hawk!"

⠀⠀Yang dipanggil melambaikan tangan, sementara Blade berlari menyeberang geladak untuk mendaki tangga anjungan. Sang koki balas melambai dengan empat jarinya—Blade kehilangan satu jari kelingking saat mereka diserang bajak laut dalam ekspedisi menuju Merzin.

⠀⠀"Hei, Kapten. Aku membawakan sarapanmu." Seperti sulap, tangan kiri Blade mengangkat setangkup roti lapis berisi potongan daging dan sayuran.

⠀⠀"Ya Khaliq!" Hawk berseru, tertawa lebar. Ia menyambar roti lapis itu, menggigitnya besar-besar. Bergumam tidak jelas pada Blade sambil mengangkat jempol, "kau memang utusan surga. Penyelamat perutku. Bagaimana mungkin tak seorang wanita pun jatuh cinta pada malaikat berhati emas ini?"

⠀⠀"Jangan berlebihan." Blade memukul bahu Hawk, meski tetap menahan senyum. "Aku hanya menjalankan tugas sebagai koki di kapal sialan ini, untuk kapten yang juga sama sialannya."

⠀⠀"Semoga Al-Khaliq membalas ketulusan hatimu," cibir Hawk, mengunyah roti lagi.

⠀⠀Blade mendengus, duduk di pagar geladak dan membiarkan rambut platinumnya diterpa angin. "Hari ini sangat cerah, tapi aku tidak bisa tak merasa aneh dengan Mare Liberum."

Of Sand and ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang