⠀⠀IV.
⠀⠀Thalia baru hadir di rumahnya selama beberapa hari, tapi Blade merasa seolah mereka saling mengenal bertahun-tahun.
⠀⠀Mudah saja membentuk rutinitas baru dalam rumah sederhana itu, yang sebisa mungkin dibuat nyaman untuk sang mermaid.
⠀⠀Dengan bantuan kru patroli, Blade membuat semacam peti dari kayu yang diisi air laut sebagai tempat tinggal sementara untuk Thalia. Sesuai instruksi Carina, airnya rutin diganti dengan yang baru, meski itu berarti Blade harus bolak-balik menimba dari pantai di belakang rumah.⠀⠀Pemuda itu juga memastikan stok ikan segar dan ganggang selalu tersedia, meski si gadis laut nampaknya lebih tertarik pada apapun yang Blade makan.
⠀⠀Seperti hari ini.
⠀⠀Sang koki membuat roti lapis untuk makan malam, dan baru saja ia akan melahap ketika ekor matanya menangkap bayang ungu di sudut ruangan.
⠀⠀Thalia mencondongkan tubuh ke depan, tangan terlipat pada tepian peti kayu. Sepasang mata magenta fokus ke roti di tangan Blade, berbinar dengan cara yang sudah mulai dihapal oleh pemuda itu. Blade menghela napas, antara gemas dan lapar sekaligus.
⠀⠀“Kau kan sudah mencoba ini kemarin pagi. Percaya padaku, rasanya sama saja.”
⠀⠀Ekor besar Thalia terangkat sejenak, lalu jatuh ke air dengan cipratan heboh. Alih-alih memikirkan permadani yang basah oleh air asin, Blade lebih khawatir pada hal lain.
⠀⠀“Jangan terlalu banyak menggerakkan ekor dulu. Ingat, menurut Carina kau masih dalam masa pemulihan.” Blade melirik, memastikan perban yang baru diganti sang Diviner tadi pagi masih utuh tanpa lepas. Pada akhirnya, pria itu menyerah juga. “Baiklah, baiklah. Ini, coba ini.”
⠀⠀Blade turun dari kursi makan, merobek sebagian roti untuk Thalia yang menerima dengan senyum lebar.
⠀⠀“Te. Rima Ka…” si mermaid berusaha mengeja, tapi jelas mulutnya masih kesulitan mengucap dalam bahasa manusia.
⠀⠀“Sama-sama.” Si koki tetap tersenyum, memutuskan untuk duduk di sebelah peti si mermaid. Digigitnya roti lapis dari bahan sisa itu, bergumam nikmat. Mungkin roti ini tak selembut roti istana, dengan isian daging seadanya, tapi tetap nikmat di lidah seseorang yang lelah bekerja.
⠀⠀Thalia ikut bergumam dengan nada, meniru Blade. Laki-laki itu terkekeh, meski ia bertanya-tanya apakah benar makanan manusia terasa enak di lidah Thalia. Para siren tak pernah menggemari makanan olahan, tapi entah kenapa gadis laut yang ini malah senang.
⠀⠀“Kau suka?” tanya Blade.
⠀⠀Thalia menjawab dengan anggukan. “E… na-k.”
⠀⠀“Syukurlah kalau begitu. Tapi ingat kata Carina, kau tetap harus makan ikan dan rumput laut. Kalau tidak, bisa-bisa lukamu makin lama pulih.”
⠀⠀Thalia melirik ember kecil berisi makarel yang sudah Blade persiapkan, bibir melekuk ke bawah. Mungkin berusaha mengatakan bahwa ia jauh lebih suka makanan manusia daripada harus makan ikan mentah lagi.
—
⠀⠀Begitu Georgie dan dua kawannya naik ke geladak Windrider, ia sudah merasakan peringatan dalam dada. Bagai bisik angin, naluri seorang kapten mengatakan bahwa ada yang tak beres.
⠀⠀Para awak Windrider mengerubungi mereka bertiga untuk mendapat cerita langsung, tap Georgie mengangkat sebelah tangan. Hening langsung melingkupi, sementara kepala sang kapten menoleh lambat ke haluan.
⠀⠀Hanya ada laut keemasan bertemu langit penuh awan di cakrawala, tapi Georgie yakin ada yang salah. Sekonyong-konyong ia berlari, berusaha menyeruak di kerumunan awak kapal. Melompati tangga dua-dua, tangan menarik teropong tepat ketika kakinya menapak anjungan tertinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Of Sand and Shadows
FantasiaSetiap mata Hawk terpejam, ia memimpikan darah dan bayangan. Ada yang salah dalam dirinya, suatu kekuatan gelap mengintai. Tapi ketika keluarga Kerajaan Hebra membutuhkan Hawk, ia tak bisa menarik janji pengabdian yang telah terucap. Walau itu artin...