4 | Perjanjian

36 7 11
                                    

Hai! Selamat membaca!
(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·


Kalimantan.

Pulau besar yang juga memiliki banyak kisah mistis. Beberapa daerah di sana masih menganut kepercayaan akan legenda turun-temurun. Termasuk buaya ghaib yang dikatakan menghuni sungainya. Tak jarang warga setempat meletakkan sesajen berisikan telur ayam kampung, nasi kuning, atau kopi hitam pahit dan manis, dan banyak lagi.

Setidaknya itulah yang Amaryllis ketahui tentang mereka, sosok-sosok melegenda yang kerap dipanggil ‘Datu’ oleh orang-orang di desanya. Ibunya sering bercerita jikalau bangsa tak kasat mata tersebut dapat berubah wujud.

Jadi, walaupun sosok di depannya berbentuk lelaki sempurna, tetap tak menutup kenyataan dirinya adalah buaya bergigi tajam yang sempat hendak menerkam Ryllis.

Perempuan itu merasa pusing, pilihan ini memberatkannya. Tak sekali dirinya melihat orang-orang menyerahkan tumbal hewan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Yang dirinya ketahui, ‘makhluk’ tersebut juga bisa meminta tumbal manusia.

Bagaimana jika keluarganya terancam, parahnya dimusnahkan? Akibat mereka mesti memastikan rahasia tertutup rapat. Itulah mengapa Ryllis sefrustasi ini dan rela tinggal. Ia harus meyakinkan Nala, apa pun caranya. Pertama, ia harus mengikuti apa pun yang lelaki itu katakan.

Nala melirik tangan Ryllis, tampak bersusah-payah memegangi buku menu. Tak ada niat mengisi perut, Nala merasakannya.

“Amaryllis.”

“Y-ya, Datu?” Ryllis menggigit bibir bawahnya setelah melontarkannya.

Tak disangka lelaki itu terdiam, syok, lalu kembali menyatukan punggungnya ke kursi secara kasar. “Kamu bilang saya apa?”

Jangankan langsung menjawab, Ryllis hampir terisak lagi. Apakah Nala akan melahapnya sekarang? Pertanyaan itu terlintas begitu saja.

“Datu? Jelaskan kenapa saya dipanggil begitu.”

“Ka-karena kamu orang sakti ... dan bisa berubah?” Ia agak tidak yakin dengan ucapannya. “Mungkin? Karena kamu udah ada sejak jaman dahulu kala? Ba-bahkan kalian sering ngejalin  kerjasama sama manusia pas masa peperangan.”

Melihat perempuan itu merunduk, Nala menghela napas gusar. “Tapi saya nggak setua itu. Kita seumuran! Datu itu bahasa daerah panggilan orangtua dari kakek-nenek, bahasa nasionalnya ‘buyut’!”

Amaryllis tersenyum kecut, menandakan dirinya tak setuju. Otaknya sudah didoktrin kalau bangsa tersebut tua renta.

“Terserahlah. Lalu, sebenarnya saya juga sudah tau tujuan kamu tetap di sini, saya bertanya tadi untuk mendengar langsung. Tapi mulut bungkam, hati berkata-kata.”

“Hati berkata-kata?” gumam Ryllis, sangat pelan, bergerak gelisah.

Setelah sedikit waktu berlalu bersama kesenyapan meja nomor 14 itu, seseorang datang, berpakaian nyaman berlapis celemek coklat. Ia menyapa Nala, begitu pun sebaliknya.

“Dia koki di sini, Malige.” Santai, Nala menunjuk lelaki di sampingnya.

Senyum itu mengembang ramah, menampilkan lesung pipi di kulit gelapnya. Menyodorkan tangan, berkenalan dengan Ryllis.

Padahal aku gak mau tau, batin perempuan itu, tertekan.

“Dia yang kamu lihat di hutan kemarin sore,” lanjut Nala.

Spontan Ryllis menggali ingatannya, kapan dan di mana, rasanya tidak ada siapa pun. Nala menyeringai dan menyambung perkataannya, “Sosok ditumpukan daun, si Tangkalaluk.”

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang