23 | Pilihan

12 3 3
                                    

Jangan lupa vote, biar semangat update, Luv! Selamat membaca!

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

Air hangat dan wangi rerempahan aromaterapi tak mampu membuat tubuh dalam bak itu rileks. Sebab, pembatas antara dirinya dan Nala hanyalah sehelai tirai. Entah karena kamar mandi tersebut terlalu kecil atau memang telinga sedang sensitif terhadap suara, ketika kran shower diputar, sabun dibalurkan ke tubuh sampai menghasilkan busa berlimpah, Amaryllis dapat mendengar semua hal itu. Dengan jelas.

Membuatnya semakin malu dan kesal. Beralasan tidak ingin membuang waktu, lelaki itu mengajak berbagi kamar mandi. Menciptakan situasi elusif dan memalukan. Salahnya menerima tawaran itu tanpa mendengar baik-baik. Ia bahkan mengira dirinya tersihir.

“Saya sudah selesai, mau keluar bersama atau ...?”

“Bersama aja, a-aku pakai piyamanya dulu.” Ryllis segera bangkit, dengan hati-hati berjalan ke depan usai mengenakan sebuah jubah mandi.

Masih seperti keadaan di luar, di sini pun gelap.

Saling membelakangi, mereka memasang pakaian masing-masing, sesekali Ryllis melirik ke belakang memastikan lelaki itu tidak mengintip. Tetapi itu sungguh merepotkan.

“Kamu suka sekali menatap punggung saya, ya?” Mengungkit kejadian di kapal kemarin.

Bergegas, perempuan itu memakai celananya dan atasan berbahan katun yang longgar. “A-aku udah. Sekarang bilang, apa yang mau kamu tunjukkan di sini?” tagihnya. Tanpa berbalik.

“Sekarang?”

“I-iya!”

Nala berjalan, lalu sampai tepat di belakangnya, menyodorkan tangan ke depan. Harum sabun yang menyatu dengan aroma tubuh Nala yang khas menyeruak masuk ke indera penciuman. Ryllis mencoba fokus pada benda di genggaman tersebut, sebuah ponsel.

“HP-ku?” tanya Ryllis. Nala hanya mengangguk sehingga air di rambutnya menetes. “Kapan kamu ambil ini?”

“Saat saya ingin mengantarmu pulang, beberapa orang saya kirim ke muka Bumi untuk mengambil barangmu, sekaligus memeriksa LITW, karena jika sedang banyak pengunjung, akan sulit bagimu menghindari petugas. Statusmu di sana tercatat sudah keluar.”

Ryllis mengangguk paham, seraya mengambil benda tersebut. Menoleh ke belakang, perlahan tubuhnya turut memutar, memandang wajah yang senantiasa menunduk. “Gak perlu ... aku udah terbiasa sama matamu,” ucapnya. Dalam sekejap, warna mata lelaki itu berubah, tak lagi tampak warna samaran.

Mereka menatap dalam waktu yang lama. Debar jantung tak perlu lagi dipertanyakan. Memakai handuk kecil, Nala mengusap rambut hitam itu, menggosoknya perlahan-lahan.

“Habis ini, kita mau ngapain?”

Pergerakan Nala terhenti. Masih memegangi handuk, ia menangkup kedua pipi Ryllis. “Haa ... pertanyaan macam apa itu?”

“Maksudku ... jadwal kita selanjutnya. Kamu mikir apa?” cibirnya.

Seraya tersenyum aneh, Nala mendekatkan wajah mereka. “Mikirin sesuatu yang seru di ka—” Kedua tangan perempuan itu menutup mulutnya.

Setelah pernyataan perasaan kemarin, mana mungkin ia tak mengerti ke mana ucapan lelaki itu tertuju. “Pakai bajumu, yang lain pasti udah nungguin di bawah, aku duluan!” Menyampirkan tas di bahu, lekas pergi dari kamar itu.

Nala hanya terkekeh pelan sebelum terdiam, menatap kosong parang yang tergeletak di sisi ranjang. Sarung bambu itu perlahan berubah menjadi kayu putih, ukiran timbul tertoreh di permukaannya, tapi sebentar saja. Ketika suara Malige memanggil lelaki itu, parang tersebut kembali pada bentuk awal.

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang