36 | Pengakuan Dosa

2 0 0
                                    

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

“Pindah dulu.” Menepuk tempat kosong.

Tak memadamkan api di dada, malah menambah dengan memerintah seenaknya. Tapi tidak ada alasan membantah, Amaryllis pun beringsut ke samping. Tindakan gegabah dan memalukan barusan terus terngiang-ngiang, sebab dirinya mulai tenang, dapat berpikir jernih. Sehingga rasa bersalah menghunus berkali-kali, tapi ia takut lelaki itu menghilang jika dibiarkan sejenak saja keluar dari pengawasan.

“Saya benar-benar meminta maaf padamu, Amaryllis. Saya pikir kamu marah dan benci jika kita bertemu, karena telah dibiarkan terluka parah. Itu hal yang lazim. Kenapa kamu malah ... menunggu saya setiap hari?” tanyanya, menatap tangan kecil yang sibuk menarik-narik seprei, mencerminkan kegelisahan dalam diri. Ia pun mengambil  tangan tersebut untuk ditautkan erat dengan miliknya yang jauh lebih besar.

Pola makannya pasti gak teratur, lagi, lirihnya, dalam hati merenung.

“Mana ada alasan lain, selain aku menyukaimu, Nala. Udah kubilang dulu, di tengah obrolan sama adiknya Malige ... bahwa cewek yang jatuh cinta bakalan sanggup menunggu, sekali pun gak pasti kapan waktu balasannya tiba.” Amaryllis dengan senyuman tipis, mengusap lembut kening Nala yang sebagian tertutup kain laung—ia mengenakan pakaian tradisional sebab pergi di sela waktu kerjanya.

“Setelah apa yang saya lakukan ... masihkah perasaan spesial itu hadir di hatimu?” Keningnya berkerut, tatapan itu sendu masih tetap terarah pada perempuan yang kini penuh keingintahuan. Helaan napas panjang dan lirih keluar dari sela bibirnya.

Ia melanjutkan, agar tak lagi ada ganjalan, “Saya mengawetkan tangan kananmu, kedatangan saya ke sini, berkaitan sama hal itu.”

Amaryllis mengatup mulut rapat, pandangannya tak berpindah, menandakan dirinya menunggu Nala selesai bicara barulah menyampaikan tanggapan. “Maaf, jika ceritanya panjang. Nawasena sempat sakit parah karena serangan Roh Dusht waktu lalu, sehingga saya terpaksa menggantikan posisi raja ....” Sedikit ragu. “Sebab Abah saya tewas diracun.”

Berarti dia sibuk banget selama ini, hubungan mereka emang buruk ... tapi itu gak akan bisa mengalahkan rasa kehilangan pada diri yang terkait ikatan darah, batin perempuan itu, tertunduk meratap, lantas menepuk pundak yang berubah membungkuk lelah dari garis tegak penuh wibawa dan ketegasan. Merosot membiarkan tangan kecil mengusap punggungnya, seolah-olah menularkan semangat yang sempat redup, mengisi perlahan tenaga yang tadi terkuras habis.

Nala mengatup mulut rapat-rapat, menutup mata.

Beberapa waktu kemudian, barulah ia kembali bercerita, secara berurutan. Namun, tak terungkit satu kali pun nama Madja dan Nirnaya dalam kisahnya. Berfokus pada kesibukannya mengurus negara, paksaan pengangkatan permaisuri, yang paling utama adalah pertemuan ia dengan Hyalli, di meja rapat Istana Nadīkrastala. Diskusi tentang penindak lanjutan kasus dinding pembatas, serta titik terang menembusnya Amaryllis ke Wakshuda tanpa melewati ‘pintu’.

Adalah dampak bagian tubuh manusia murni tak diterima di tanah gaib. Konon katanya, seonggok daging atau bahkan setetes darah manusia yang tidak terikat kontrak dengan halimunan, jatuh ke tanah Wakshuda, maka itu akan selalu mangariyau (memanggil secara batin) pemiliknya. Selain itu, segel pikiran dari Nala juga mempengaruhi, semacam pemicu terjadinya bentrokan tersebut.

“Jadi saya hendak mengembalikannya, jika saya langsung mengubur di sini, mungkin selamanya saya gak akan mengakui dosa ini. Meski secara tertulis ...,” ujarnya, menyerahkan sebuah surat yang awalnya perantara seluruh kata-katanya tadi. Karena sudah diungkap lisan, kertas itu sudah tidak diperlukan. Tapi dengan sigap Ryllis mengambil dan menyimpannya.

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang