11 | Dakṣiṇā

19 4 2
                                    

Selamat membaca, jangan lupa vote komen kalo suka❣️

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·⁠

“Kamu mau membawakan ini? Bagus sekali. Terimakasih.”

Buyar sudah kegugupan di benak Amaryllis. Usai menyerahkan wajan besar, Naladhipa beranjak keluar sambil melipat kain di pergelangan hingga ke siku, tak lupa mencomot sebuah bakul—tirisan yang terbuat dari anyaman bambu, besek–di gantungan. Ryllis turut melangkahkan kakinya, dari pada sendirian di ruangan bercahaya remang tersebut.

Sesuai arahan ibunya Kyena, ia menaruh wajannya di atas tungku besar. Kemudian, membantu menyusun kayu bakar. Sesekali mata coklat gelapnya melirik ke seberang, tepi sungai, pada seorang lelaki yang sibuk mencuci ketan dalam bakul.

Waktu pun tak terasa berlalu, ketan yang telah dimasak dengan santan pun sepertinya cukup matang. Nala menggerakkan kayu sebesar dayung itu agar bagian bawah masakan tak gosong, baru sadar tangannya penuh hitam arang, sebab beberapa kali apinya mengecil karena kualitas kayu bakar tak dijemur lama. Ia pun menoleh ke segala arah.

Hanya ada Ryllis di sana, tersisa di antara orang-orang yang pulang beristirahat.

“Kenapa masih di sini?” tanyanya.

Perempuan itu menghentikan aktifitas mengelap atau membersihkan daun pisang. “Aku nunggu kamu.” Merasa aneh, sebab baginya jawaban itu sudah pasti diketahui Nala.

“Saya di sini sampai lamangnya matang, kau akan kelelah–”

“Terus aku harus gimana?” Ryllis memotong. “Kamu yang bawa aku ke sini, ini bukan tempat di mana aku bisa keluyuran sesuka hati.”

Nala pun mengerti. “Saya akan mengantarmu ke dalam, sebelum itu ... bantu cicipi rasanya,” ujar lelaki itu.

Segeralah Ryllis ke sana, ia mengambil sesendok adonan beras ketan tersebut, mencicipinya usai agak dingin, lalu tersenyum ragu. “Jujur ... aku belum pernah makan ini. Jadi gak tau rasa yang benar gimana.”

Menghela napas pelan, lelaki itu membungkuk dan menyuap adonan asin gurih yang tersisa di sendok. Tubuh kecil itu terpaku, kaget, memandang nanar wajah yang begitu dekat dengannya meski sekilas.

“Pas!” Bergegas memadamkan api dengan cara memindahkan beberapa kayu dan memukul-mukul sisa baranya.

“N-nala ....”

“Pun?” Berdiri. “Saya sudah selesai.” Menaruh tutup anyaman itu di atas wajan.

“Boleh gak aku bantuin kamu aja? Lagian aku gak ngantuk.”

“Kamu yakin?”

“Iya, bilang aja apa yang perlu aku kerjakan.” Jujur saja, ia tidak mengantuk, jadi daripada diam di kamar tanpa melakukan apa pun, lebih baik di sini.

Napas lelaki itu mengembus pelan. Lalu mengajak Ryllis duduk di tikar. “Istirahat sebentar.”

Sambil memeluk lutut, perempuan itu melirik ke samping beberapa waktu. “Um, soal Malige, dia chef ... kenapa bukan dia yang masak?”

“Karena ini spesial. Walau belum resmi, wilayah ini, Dakṣiṇā, akan diberikan pada saya yang merupakan pangeran kedua. Karena itu ... saya berusaha membaur dan merasakan langsung kehidupan sehari-hari rakyat.” Kemudian, ia menoel bahu perempuan itu dan mengisyaratkan untuk menengadah ke atas.

Tepat ketika itu, Amaryllis terperangah takjub. Siapa sangka, langit yang tadi siang serasa akan membakar kulitnya, kini menampakkan gemerlap ribuan titik-titik cahaya, mengelilingi rembulan yang bersembunyi malu-malu di balik kabut tipis kelabu.

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang