18 | Terpilih

7 3 1
                                    

Jangan lupa vote, biar semangat update, Luv! Selamat membaca!

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

Sadar telah menaikkan nada suara, Amaryllis langsung meminta maaf dan menunduk. Tidak seharusnya rasa kesal mendominasi, bukan?

Naladhipa terkekeh pelan menyaksikan tingkah laku itu, lalu menceritakan kisah singkat sebelum mereka pergi ke ruang kerja, tempat Ryllis berada. Saat itu ... Nala dan Malige berpencar di dalam kamar, mencari sosok Hyalli. Tak terkecuali kamar mandi. Namun, di sana pun kosong, sehingga Nala berniat keluar, secara tiba-tiba sesosok perempuan muncul dari bak besar, mencegat lehernya menggunakan tombak.

Sehingga terjadilah perkelahian kecil di dalam air. Berakhir setelah Malige datang menangkap kedua lengan Hyalli yang sudah menggebu-gebu hendak menusuk penyusup di bawah tindihannya. Tanpa menjelaskan apa-apa, mereka langsung bergegas keluar karena keberadaan penyusup sudah Hyalli kabarkan kepada pasukannya—langsung saat ia merasa ada yang memasuki kamar.

“Lalu ... Vashma?”

“Barusan Putri Hyalli sudah memberitahukan bahwa kita sekutu,” jelas Nala, ditimpali anggukan kecil oleh perempuan di depan sana.

“Untunglah,” lirih Ryllis, “oh, ya! Putri Hyalli, maaf sebelumnya ... aku Amaryllis, seorang manusia yang dibawa Pangeran Naladhipa ke sini. Seperti yang kamu tau, perang akan segera terjadi antara Gitīmingsra dan Nadīkrastala, udah nggak bisa dicegah ... setidaknya masih ada kemungkinan kita bisa mencegahnya memakan korban.”

“Aku yakin Putri mengerti maksudku. Apakah kalian bersedia meminjamkan Svargah? Sementara perang berlangsung ...,” tambahnya, nada bicaranya tidak tergesa-gesa, tapi tak juga pelan.

Hyalli menatap lekat, bergeming selama beberapa menit. Memunculkan rasa takut di benak Ryllis, seolah-olah pertanda rencana akan gagal. Tapi senyuman tipis di bibir merah itu mengartikan hal positif. “Saya suka orang yang langsung bicara ke poin utama, tanpa bertele-tele sehingga berkesan penjilat senior,” tukas Hyalli.

Bahu perempuan bersweater merah jambu itu semakin tegang, begitu pun senyum di wajahnya. Kemudian, sambil tertawa renyah, Nala menepuk kepala Amaryllis dan berbisik, “Itu pujian, selamat. Dia bukan sedang mengataimu nggak sopan, kok. Tenanglah, lemaskan tubuhmu yang sudah macam batu pahatan ini.” Tawanya malah lebih menggelegar usai berkata-kata.

“Saya akan mengutarakan maksud kalian pada Ibunda besok pagi, beliau yang akan memutuskan. Jika kalian mau, silahkan menginap.”

Serentak mereka menolak tawaran menginap, membuat ketiga orang itu saling menatap, dalam hati bertanya-tanya apakah pikiran mereka kali ini sama? Yaitu ... ingin berkeliling kota.

“M-maaf, bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Hyalli mengangkat alis sebelah, percakapan ini membuatnya tahu kalau manusia di depannya selalu memikirkan sesuatu hal secara keras dan matang. Akan menyakitkan jika rasa penasarannya tidak terjawab. Ijin pun dilontarkan.

“Lagi-lagi ... maaf.” Ia merasa sangat berdosa dan tidak tahu diri. “Aku melihat sebuah amplop di meja kerja Ratu. Di atasnya ada stempel Kerajaan Nadīkrastala. Apa itu dari Putra Mahkota Nawasena?”

“Putra Mahkota?”

“Iya, setahuku ... stempel kerajaan adalah lambang kepemimpinan di Nadīkrastala. Jadi kalo bukan Raja Ahwanith yang mengirimnya, pasti Putra Mahkota, calon pemilik stempel,” tukas Amaryllis, supaya usutnya lebih jelas tersampaikan.

“Stempel itu mengandung sihir yang sangat kuat, meski masih bisa dihancurkan jika terbakar. Kehebatannya bisa memilih calon pemimpin baru yang berpotensi dan paling berkualitas, sehingga jika stempel sudah berada di tangan putri bungsu pun, opini rakyat dan bangsawan akan seketika berubah haluan. Luar biasa, bukan?” Hyalli mengangkat tangannya, lalu menjentikkan jari, memunculkan amplop coklat dan diletakkan di atas meja berkaki pendek, segeralah Nala mengambilnya.

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang