7 | Tentang Empati

25 5 6
                                    

“Selamat datang di Wakshuda, Manusia! Tetap fokus!”

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·⁠

Madja tampak pucat. Tatapannya lelah, nyawa seolah-olah mengepul keluar melalui celah bibirnya yang terbuka. Sedangkan semangat sosok di samping masih berkobar, bersandar santai pada punggung bangku kereta, seraya membaca artikel-artikel di handphone.

Sudah delapan jam Madja mengawal mereka berkeliling Prāci, ibukota Gitīmingsra, serta beberapa tempat lain di sekitarnya. Begitu menguras tenaga dan kesabaran. Nala yang selalu bicara memamerkan dunia tersebut, bertemu Ryllis yang mendengarkan penjelasan secara antusias dan penuh penasaran—tapi tak pernah bertanya secara blak-blakan, tentu membuat mereka ricuh tak terkendali.

Apalagi mereka tampak tidak memedulikan keamanan, mentang-mentang ada dirinya. Ia harus ekstra waspada dan siap menarik keduanya ke tempat tersembunyi setiap ada pengawas kota. Paling mengerikan baginya adalah menyaksikan kedua orang itu jadi pusat perhatian ketika menyebrangi jembatan gantung di Halep. Waktu itu Nala tertawa keras sambil menggendong Ryllis yang berteriak ketakutan di bahunya. Wajar saja, jembatan itu menghubungkan dua tebing setinggi ratusan meter.

Gitīmingsra memang dikenal sebagai wilayah yang memiliki banyak jurang, dataran tinggi, serta pegunungan, oleh karena itu tak heran jika ibukotanya saja yang ditata sedikit modern, sedangkan kota-kota lain masih didirikan dengan kayu sebagai bawah barumahan (kolong rumah tinggi). Meski menjaga keasrian—tak mengubah keaslian alam, mereka tidak menutup diri terhadap perkembangan jaman, berbagai jenis alat pertanian terbaik dibuat di negara tersebut.

Hal yang patut dibanggakan, tapi Madja frustasi, ingin cepat-cepat pulang. Bahkan mengurus puluhan pasien di suaka tidak semelelahkan ini.

“Sepertinya gadis itu mengantuk,” bisiknya, lalu mengomel, “Kalian ini! Bahkan untuk urusan diri sendiri pun saya yang disuruh memperhatikan?”

Naladhipa mendengkus, tak suka. “Kemarikan kepalamu.” Menarik kepala Ryllis untuk bertender di bahunya. “Tidurlah, nanti saat sampai stasiun Sejahtra, saya bangunkan.”

“Gak perlu,” sergah perempuan itu, hendak kembali duduk tegap, tapi tangan Nala menahannya di ubun-ubun, jari-jemari itu seakan-akan mencengkeram kepalanya.

“Jangan banyak komplain, nanti kakek-kakek di sebelah ngomel.“ Tersenyum dengan kening terangkat.

Hampir saja emosi Madja mendominasi, ia pun mengatur napas dan mengalihkan pikiran. Tidak ada gunanya memarahi Nala, ada seribu satu kalimat untuk menangkis ucapannya. Ketika menoleh lagi, terlihat Ryllis sudah terlelap. Wajar saja, semalaman ia dan Nala tidak tidur, sebab suasana canggung tercipta dari tingkah grogi Ryllis yang tak mau berbaring.

“Sejak kemarin saya bertanya-tanya, di mana kamu menculik gadis ini?“ Menatap Nala, serius. “Dia kelihatan tidak prima. Kapan kamu akan memulangkannya?”

“Setelah konflik ini selesai, dia kemari secara sukarela. Kamu tahu sendiri, kita sangat bermasalah dalam empati terhadap kubu di luar wilayah kita. Saya hanya ingin meminta saran darinya, apakah saya benar-benar harus mengajukan petisi pembatalan perang atau nggak. Keputusan itu akan dibuat setelah memindai beberapa tempat di sini.” Santai, ia menjelaskan.

“Hmm ... sebelumnya kau tidak pernah ikut campur. Dengan kebimbanganmu ini pun sudah menunjukkan kalau nuranimu terbuka. Harusnya kau tidak ambil pusing dan memikirkan cara menyelamatkan rakyatmu, benar bukan?”

Nala mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu, Madja? Saya masih sama.” Menekankan setiap kata-kata, tak lupa pula tatapan itu tajam dan menusuk.

Pria di sampingnya menghela napas panjang. Saku celananya bergetar, ia pun berdiri setelah mengetahui nama kontak yang menelepon. “Terserahlah. Saya ke sana dulu untuk menjawab telepon.” Secara tiba-tiba ia mendekatkan wajah ke samping telinga Nala, berbisik, “Fokuslah, halimunan lain menargetkan gadismu.”

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang