27 | Penghargaan

14 3 2
                                    

Jangan lupa vote, biar semangat update, Luv! Selamat membaca!

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

Waktu kian berlalu, terasa cepat ketika ia membantu menyiapkan pakaian Nala dan alat perlindungan di kantung sihir. Akan tetapi melamban usai berpisah di perbatasan kota. Percakapan dan pelukan singkat beberapa waktu lalu seakan tombol efek gerak lambat kehidupan. Memicu rasa tak tenang dan ketidaksabaran.

Tubuh semampainya tersandar di kusen pintu, menatapi jalan kosong. Rintik gerimis berjatuhan dari langit malam, menyirami tanah dan segala benda di permukaan yang kering. Rasa haus dan gersang telah didera hujan, orang-orang keluar sambil tertawa senang, anak-anak berlarian dan bernyanyi-nyanyi bersama, bermain genangan air di sana-sini.

Amaryllis terpejam sejenak menghirup udara segar. Rakyat di setiap sudut Prāci ... tidak tahu, kalau salah satu orang besar tengah pergi ke tempat musuh. Nala meminta teman-temannya tutup mulut, agar rasa risau yang menyiksa tak dirasakan banyak orang. Karena hujan yang lama dinantikan telah turun, janganlah ganggu bahagia mereka, itulah yang disampaikan sosok lelaki bertubuh setinggi dua meter kurang lima senti tersebut.

Di kejauhan, jalanan yang tertutup kabut dan gelap, tampak rombongan yang mendekat. Kanagara melewati Ryllis sambil saling melirik penuh tanya sebentar, turun ke teras, lalu menunggu di depan jalan. Penuh awas tatapan mereka, seketika senyap, dengan cepat Ryllis memberi arahan agar orang-orang masuk ke tempat mengungsi, guna mencegah kejadian yang tidak diinginkan.

***

Tak perlu waktu lama menyusuri sungai besar dengan wujud buaya. Sepanjang perjalanan tak henti ia merasakan banyak mata memandang tajam, mengawasinya, diyakininya ... merekalah Pasukan Chhaya. Namun, tak ada tanda-tanda penyerangan, sehingga ia tetap berenang menuju lokasi yang ditentukan, ujung Sejahtra.

Usai keluar dari sungai, dirinya menatap tangannya yang dijatuhi gerimis. Membuatnya memikirkan Amaryllis yang tak perlu bolak-balik mengurus destilasi air, sekaligus percakapan kala mengantar dirinya. Di mana perempuan itu mengingatkan jikalau apa pun yang terjadi, Nala harus kembali padanya, karena ia sudah bersumpah.

Menggenggam tekad, ia melangkah memasuki taman, rumah Madja.

“Abang!” seru Nirnaya dari teras sana.

Kali pertama perasaannya hampa dan ngilu menatap wajah manis tersebut. Merasakan ada perbedaan, senyuman Nirna merosot, lalu mengajak sang kakak, ralat, kakak tirinya itu masuk ke ruang tamu.

“Kita bicara di sini saja,” ujar Nala.

Nirnaya melirik sosok-sosok hitam yang berdiri tinggi menjulang jauh di belakang Nala. Pasukan Chhaya hampir menghilang sesuai titahnya, tetapi Nala mengajukan syarat kalau tak ada yang boleh beranjak dari tempat, jika ingin bicara baik-baik. Nala khawatir ... ditipu seperti dahulu. Dua hari menunggu putusan Raja Ahwanith tentang ajuan pengembangan kota, tetapi malah dibalas culas. Meski ia belum tahu apakah mereka bersekutu.

“Abang, tidak mungkin melupakan kenangan indah kita, bukan? Saya pun syok setelah tahu kenyataannya, tapi rasa sayang saya terhadapmu tidak pernah hilang.”

“Nirnaya ... saya pun demikian, andaikan kamu nggak mengambil jalan yang salah, saya pasti gak akan bisa menatapmu sebagai orang asing setelah bertahun-tahun kita bersama,” ujar Nala, dengan nada dingin.

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang