Happy reading 🐊
··✧☬✧··
Naladhipa bilang ada beberapa cara khusus apabila hendak ke Wakshuda, salah satunya berenang ke dasar danau dan membuka pintunya. Sehingga sekarang mereka berdiri di depan sebuah danau yang masih berada dalam lingkup LITW (Live In the Wild), alias tempat wisata.
Lelaki tersebut meregangkan otot-otot bahunya sambil mendekat ke air. Diamnya Amaryllis bagaikan patung, menarik rasa herannya. Tapi segera mendapat jawaban usai menatap mata itu, membuatnya tertawa terbahak-bahak. “Ryllis ... kamu nggak bisa diam saja di situ, saya gak akan membawa pintunya ke atas, kita yang ke bawah.”
“Maksudmu, aku juga ikut?” Menunjuk wajah sendiri.
“Kalo memakai wujud buaya mungkin sampai lebih cepat, menurutmu gimana?” Memilin dagunya yang mulus tanpa jambang.
Ryllis tersenyum kecut. “Kamu beneran serius minta maaf atau nggak, sih? Jangan ngerjain aku lagi, tolong.”
Setelah mendengar lelaki itu berjanji tak akan ‘berubah’ barulah ia berani mendekat. “Aku gak bisa berenang,” paparnya, seraya melepas jaket dan membuangnya sembarang.
“Saya tau. Jadi, permisi sebentar,” ujar Nala mengulurkan tangan. “Genggam erat-erat, jangan sampai saya yang memegangimu. Kamu gak mau, ‘kan?”
Anggukan kecil terlihat. Nala telah lama mengerti kalau perempuan itu tak ingin bersentuhan dengannya secara berlebihan, meski sepenting apa pun. Karena tak yakin, ia segera mengikat sehelai kain agar pegangan tersebut tak akan mudah terlepas. Kemudian, menjelaskan berapa lama mereka harus menahan napas, Ryllis menyanggupi.
Sesuai aba-aba Nala, mereka menceburkan diri. Ryllis melihat kaki lelaki itu mengayuh kanan-kiri, ia pun mencobanya tetapi malah memicu sosok tersebut terkikik geli. Membuatnya sebal, tapi tak berani melampiaskan emosi. Matanya terasa semakin perih, hal terakhir yang ia lihat sebelum terpejam adalah sepasang gapura besar dan tinggi.
Melewati benda itu lalu naik kembali. Tiba di permukaan, perempuan yang kehabisan pasokan napas itu langsung menghirup udara dengan rakus. Dirinya hampir lemas, tapi enggan memberi tahu Nala.
“Harusnya bilang kalau sudah gak sanggup,” omel Nala, berkacak pinggang seraya menatap intens ke bawah, pada orang yang terduduk di rerumputan.
“Ntar yang ada kamu berubah jadi buaya,” gumam perempuan itu, menunduk guna menyembunyikan wajah yang merengut. Kebiasaan selepas menyentuh air, perutnya berbunyi mengeluh kelaparan.
“Ikuti saya. Lewat sini!”
***“Cuih! Baiklah, ambil saja, dasar miskin!” celetuk seorang pedagang, membungkus dua roti beserta dua centong sesuatu masakan asing, tapi tampak menggiurkan.
Ryllis sampai menelan ludah mencium aromanya. Sambil mengomel penjual itu membiarkan Nala men-scan kode QR pembayaran dan membayar separuh dari harga seharusnya. Ryllis sangat terkejut, matanya tak berkedip ketika menatap benda tipis di tangan Nala yang segera dimasukkan kembali ke sebuah kantong kain.
“Kenapa? Baru pertama kali lihat HP?” Lelaki itu terkekeh. Tanpa berterima kasih, menyeret Ryllis pergi, tampak puas sekali mendengar pria di toko itu berteriak-teriak marah.
Tak begitu jauh, sampailah di sebuah tempat duduk umum. Ryllis menatap penasaran ke arah mulut Nala. Menyuap dan mengunyah tanpa henti, menikmati enaknya masakan dalam mangkuk tadi, ternyata itu semacam cocolan.
“Cobalah, ini sangat enak. Bukan daging manusia, kok.”
Ryllis tersentak, lagi-lagi pikirannya seolah keluar dari kepala dan terlihat. Menepis keraguan, ia menyobek sedikit roti dan mencolek masakan di mangkuk itu, lalu memakannya. Luar biasa, rasanya gurih dan lezat. Daging cincang tumis, ada rasa saus dan bahan-bahan lainnya yang tak dapat diprediksi nama-namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wakshuda
Viễn tưởngAmaryllis memiliki fisik yang tak sekuat orang-orang kebanyakan. Acara liburan yang diiming-imingi kenyamanan beristirahat, usai berhasil menggenggam gelar sarjananya, malah berjalan kacau. Hal-hal rancu bermunculan di hutan buatan tersebut, membua...