34 | Sekilas Saja

1 0 0
                                    

Jangan lupa vote, biar semangat update, Luv! Selamat membaca!

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

Di balik dinding pembatas, seseorang berenang ke sana-kemari, ujung ke ujung, mencari celah yang muat dilalui tubuh besarnya. Persis orang kurang waras yang kebingungan. Tak sekali telapak tangannya menghantam permukaan tembok, melampiaskan amarah sia-sia. Berenang ke kedalaman yang gelap, ia terus meraba dan berhasil memasukkan separuh bagian bahu lebarnya.

Merutuk sarkas, barulah kemudian berusaha tenang, menjaga kestabilan, lantas mengendurkan otot-otot, lebih berusaha, dan sekarang dirinya tiba di laut sebelah. Cepat-cepat menggapai tubuh kecil yang hampir disambangi predator ganas. Memeluknya erat-erat, untuk melindungi dan melepas kerinduan. Mereka menjauh dengan cepat, tapi hiu itu pun demikian. Sulit bagi Nala berenang dengan wujud manusianya.

“Beraninya buaya memasuki wilayah kami!” teriak sebuah suara yang membuat Nala menyadari satu hal, hingga belingsatan membawa Ryllis ke tepi pantai, di mana hiu itu tidak bisa mengejar.

“Sial! Senja hampir berakhir. Jangan sampai ‘mereka’ menangkap Amaryllis.” Lelaki dengan dua tahi lalat di pinggir hidung itu, panik. Meletakkan perempuan itu dan berusaha mengeluarkan air yang tertelan, dengan cara menekan dada atasnya. Cara itu masih berpengaruh, Ryllis benar-benar memuntahkan cairan asin entah lewat mulut atau hidung, mungkin keduanya.

Tersedak, ia berusaha bangkit, mendapati seluruh tubuhnya basah kuyup dan dilumuri pasir pantai. Ia menoleh ke kanan lalu melihat seseorang melambai di kejauhan, berjalan mundur, perlahan-lahan, yang menandakan kakinya, hatinya, tak rela pergi ke lautan, meninggalkan perempuan itu.

“Nala ... Nala! Jangan tinggalin aku!” Ryllis merayap dengan betis dan satu tangan, tapi semuanya menghilang. Semuanya. Entah itu lautan, pasir hangat yang ia duduki, atau dinding pembatas yang retak. Dalam sekejap mata, digantikan toko-toko bertingkat dua di kanan-kiri, jalan raya, dan orang-orang yang menatap bingung, bertanya-tanya apakah Amaryllis habis mandi di pantai.

Tapi apa pedulinya dengan semua itu? Seluruh pikiran tertuju pada laki-laki jangkung yang baru saja menyelamatkannya dari kematian. Kenapa secepat itu? Mereka tak sempat bersua. Tak sempat Amaryllis memeluknya!

Hatinya sakit, jauh lebih sakit dibanding tubuh bagian dalam yang panas membara akibat rembesan air laut. Ia menopang tubuh lemas, menunduk dalam-dalam sambil terisak meski sekuat tenaga ditahan. Ia ingin melihat lelaki itu, seutuhnya. Sangat, sangat ingin.

“Ya ampun! Ryllis! Aku mencarimu ke mana-mana!” Kiel gegas berlari ke mari, ia telah menyusuri bagian kiri toko es krim di mana mereka berjanji bertemu lagi, tapi sekarang perempuan itu ditemukan bersimpuh di arah kanan, dengan jarak belasan meter dari toko tersebut.

“Ka-kamu dari mana? Kenapa kacau sekali?” tanyanya, hendak membantu berdiri, tapi ditolak dengan lemah. Kiel pun heran, ia terpaku ketika perempuan itu menengadah membalas tatapannya. Tidak dapat dimengerti sedikit pun, arti maupun maksud dari netra berkelopak sembab itu.

Kiel melepaskan jaketnya dan membungkus Ryllis. Perempuan itu teringat, lagi, beginikah Nala membalut dirinya yang terluka parah waktu lalu? Dirinya yang kehilangan kesadaran, tak ingat atau pun mengetahui satu pun hal selanjutnya setelah Malige bersumpah.

Apakah perang telah berakhir?

Bagaimana keadaan Nala?

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang