30 | Papikat

8 2 4
                                    

Jangan lupa vote, biar semangat update, Luv! Selamat membaca!

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

Lelaki berkulit tan tersebut menundukkan kepala, sesak dan panas memberangsang di dada. Matanya terpejam erat agar tak terpandangi tangan kanan yang tertindih reruntuhan. Kemudian, pelan ia mengusap kepala perempuan yang sedari tadi terjerembap, lalu berbisik di dekat telinganya.

“Saya bersumpah tidak akan mengobatimu atau membiarkan halimunan lain melakukannya. Sudah, sekarang puas?”

Tampak sebentar ujung bibir perempuan itu tertarik. Menjauhkan tangan dari betis Malige, menikmati rasa pusing dan berputar-putar di kepalanya yang berlangsung tak begitu lama. Seolah menyatu dengan gelapnya malam yang dingin, ia tak merasakan mau pun melihat apa pun lagi.

Malige segera berdiri, lalu melangkah gontai, ia berhasil berpindah mendekati Naladhipa yang telah menyelesaikan masalah di tempat itu. Madja pun telah ditangkap dan diamankan bersama Nirnaya. Ia menepuk pundak sobatnya yang perlahan berubah wujud, kening sama-sama mengernyit.

“Kau sudah melakukan kewajibanmu di sini, Pangeran Nala.” Malige memberi hormat. “Sudah waktunya kamu mengembalikan gadis manusia itu.”

Nala agak terengah memegangi luka tusukan keris sakti di perutnya, belum sepenuhnya sembuh, lalu bertanya, “Di mana dia?”

“Waktunya tidak lama lagi.”

“Apa maksudmu ....” Matanya membulat murka, lalu segera pergi ke tempat yang Malige sebutkan. Ketika ia melihat sesosok perempuan tergeletak di teras itu, hanya satu yang muncul di pikiran, menahan pendarahan dan menyalurkan mana-nya.

Ketika hendak melangkah maju, Malige muncul sambil menodongkan mandaunya. Membuat Nala kesal dan marah. Sebelum mulut lelaki bermata peridot itu mengeluarkan tanya, ia menjawab lugas, “Mohon maafkan saya. Kamu harus melangkahi saya jika hendak menggunakan sihirmu pada gadis ini. Karena saya sudah bersumpah menjaganya agar tidak terikat kontrak dengan halimunan mana pun, termasuk saya dan engkau.”

“Malige, jangan buang-buang waktu! Minggir!”

“Saya telah berjanji atas nyawa saya, Pangeran Nala,” ujar Malige. “Dia masih bisa selamat jika segera dilarikan ke rumah sakit. Tapi sepertinya ... kamu bersumpah mengantarnya ke rumah, itu juga buang-buang waktu, benar? Jadi ... kamu boleh membunuh saya, lalu obati dia.”

Dengan santai Malige menyerahkan mandau itu. “Mati karena melanggar sumpah katanya sangat menyiksa, jadi lebih baik mati secara singkat.” Luka dan darah hampir memenuhi sekujur tubuhnya, bukti dari pertarungan sengit sebelumnya. Semuanya tampak demikian, tapi mereka akan segera sembuh, tak seperti manusia.

Namun, seperti manusia jikalau mati, tak akan hidup kembali. Kesamaan dan perbedaan yang membuat Naladhipa kalut, tak karuan rasa. Haruskah ia membunuh Malige?

Matanya senantiasa membelalak, kata-kata agar tidak menyia-nyiakan waktu, terus muncul di pikiran, mengharuskan sesegera mungkin mengambil keputusan. Jika ia tidak memenggal Malige, Amaryllis akan kehilangan tangannya, atau bahkan nyawa. Lantas, mana mungkin dirinya membiarkan Malige tersiksa menghadapi kematian akibat pelanggaran.

Nala mencengkeram rambut, frustrasi, memekak penuh penekanan. Ia mendorong Malige, mengumpat atas kebodohan lelaki itu. Tembok yang menindih lengan kanan perempuan di teras tersebut disingkirkan dengan mudah, ia pun membalut tubuh kecil Amaryllis, menggendongnya dengan lemah lembut. Takut jikalau sentuhannya membuat rasa sakit bertambah.

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang