33 | Filipina

6 1 0
                                    

Jangan lupa vote, biar semangat update, Luv! Selamat membaca!

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

Sempoyongan, perempuan bertopi abu-abu dan mengenakan hoodie big size, berusaha menyamakan kecepatan langkahnya, agar tak tertinggal di tengah ramainya orang-orang keluar dari kabin pesawat. Mabuk udara. Wajar saja ia kaget, seumur hidup, 23 tahun, jarang menjauh dari rumah, paling-paling hanya keluar kota memakai mobil. Bepergian menjelajahi Wakshuda, adalah pecah rekor baginya, tapi kala itu kapal yang menjadi alat teleportasi.

Mana tahu dirinya tak akan kuat melewati perjalanan udara, betapa tersiksanya ia selama dua kali transit. Ke Jakarta kurang dari 2 jam, menunggu transit berjam-jam lamanya—dilewati dengan tidur, lalu sekitar 4 jam lebih ke bandar udara internasional Manila, transit lagi, dan sekarang akhirnya, setelah 2 jam mendarat di tempat tujuan. Keinginannya hanya satu sekarang, tempat tidur. Nerine merasa iba sekaligus lucu, sebab meski dihantam sakit, sang adik selalu melafalkan kata kalau dirinya tak menyesal sedikit pun mengikuti Nerine. Sehingga tak perlu salah-menyalahkan.

Lagi pula, ia sendiri yang mengajukan diri untuk menemani sang kakak, melepas penat setelah jadwal padat sebagai mega influencer. Sementara sang suami tidak mungkin meninggalkan meja kerja di saat karyawan lain juga sibuk. Nerine terkenal, nama yang ia bangun itu hampir seusia putranya, jadi tak mengherankan jika jerih payah terbalaskan. Sering kali Ryllis takjub, tetapi tak berkeinginan berkecimpung di dunia yang mengharuskannya berbicara lancar dan memahami teknik marketing secara mulus.

Ryllis menyuap sesendok nasi menggunakan tangan kirinya, irisan daging serta siraman bumbu kental di atas nasi, porsinya tidak cukup banyak untuk sepiring nasi, sama dengan pelit. Mungkin karena sama berserat, setiap ia mengunyah, memori Nala menuangkan begitu banyak oseng minjangan daun asam langsung dari wajan besar, karena senang melihatnya lebih lahap dari biasanya, terputar begitu jelas. Senyuman, suara berat yang menyapa telinga bersama usapan lembut di kepala, Amaryllis jadi tak bisa menikmati makanan di depannya.

Nerine sibuk selfie serta memotret restoran, piring, segala hal yang bisa ditilik matanya. Termasuk Amaryllis, perempuan itu tersenyum tipis menyadari lensa kamera ponsel terarah padanya. Lalu kembali makan dengan penuh paksaan.

Mereka kemari hanya berdua, Aldi tidak ikut karena harus sekolah, ia dititipkan pada Janna. Ryllis masih sangat bingung dengan prilaku sang ibu, tetapi beberapa hari terakhir terasa lebih meleleh, bukan menegangkan seperti menghadapi kemungkinan itu hari terakhir. Wanita itu bicara pelan dan singkat, seakan terbesit kesedihan tiada tara.

Daripada percaya diri ibunya berubah baik, ia memilih tidak terlalu memikirkan. Persiapan kalau nanti amarah Janna meledak.

Mereka berencana mengunjungi beberapa kerabat yang menetap di Negeri Lumbung Padi tersebut. Sudah menjadi rutinitas tahunan Nerine, sebab ia yang paling dekat dengan keluarga pihak ibu. Oleh karena itulah Nerine memilih langsung transit ke Kota Davao, dari pada berlama-lama di Manila yang tidak terlalu dikenalnya.

“Nanti mau jalan-jalan dulu sebelum balik ke hotel? Masih ada waktu sebelum malam banget,” tawar Nerine, setelah melihat perempuan itu mengangguk, ia menekan tombol kirim di laman sosial media, lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan santapan.

Mempublikasikan foto-foto tadi, wajah sang adik telah ditimpal emoticon love, sesuai permintaan privasi jika memang ingin menambahkan fotonya di slide postingan. Sesekali Ryllis menoleh ke luar jendela, di sampingnya.

“Kita ini di mana?” Baru terpikir untuk bertanya.

“Masih di kawasan Kota Digos. Gak berani aku kalo jauh-jauh dari hotel, takut hilap nyasar.”

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang