37 | Tangan Kanan

2 0 0
                                    

Agak meresahkan memang topik pembicaraan ini. Selamat membaca!

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

“Kamu takut?” Nala kini menatap dengan rona sedih. “Benar. Kamu gak mungkin biasa saja sama hal aneh begini. Kalau gitu, saya mengikuti kamu saja, mau bagaimana?”

“Tubuhku pasti mulai mengurai, ‘kan? Kalo gitu ... lebih baik gak usah, Nal. Maaf, kesannya berbelit, aku baru kepikiran.” Gelisah. Nala mengusap kepala itu, pelan.

“Ya, tenanglah, saya akan mengembalikannya ke sini setelah memeriksanya, tapi saya tetap mengusahakan perubahan aturan itu, demi kebaikan bersama.” Tersenyum tipis, mencoba meyakinkan kalau semuanya tidak semengerikan itu. “Mungkin kita gak akan bertemu sampai saya selesai, sehingga saya akan mengirim teman-teman untuk mengantarkannya.”

Anggukan kecil tampak, membuatnya lega, sebab perempuan itu masih memberinya kesempatan untuk memperjuangkan hubungan.

“Kita gak bisa bertemu, lebih lama dibanding sebelumnya. Saya berjanji ... akan membalas penantianmu, jadi tolong jagalah hati saya di genggamanmu.” Menutup jari-jemari Amaryllis, seolah ada sesuatu di dalam sana, kemudian mengucapkan salam perpisahan singkat.

Amaryllis berdiri di depan jendela, menelan sunyinya malam. Cahaya dari lampu-lampu di luar sana menyinari bagian di balik kaca, sebab tirai disibak empunya. Atap perumahan berjejer di depan sana, sehingga mengharuskan dirinya menaikkan bola mata. Menatap langit yang gelap, sesekali kilat menggelegar di ujung sana, seperti semburat benang tipis yang berakar.

Ia menaruh telapak tangan kirinya di permukaan benda dingin transparan tersebut.

Tersenyum kecut. Penantiannya akan sangat berat sekarang, karena perasaan mereka telah terpaut dengan jelas. Pernah satu bait kalimat teramat mendebarkan baginya, dari sebuah buku romansa, tentang sentuhan fisik sebagai arti berapa banyak seorang laki-laki memenuhi hati perempuan. Ryllis pikir ia harus melewati fase-fase tersebut untuk mencintai sepenuhnya. Namun, jangankan tubuh yang saling terhubung, bibir tertaut pun tak pernah.

Namun, Naladhipa seakan mengusai setiap detak jantung dan hela napasnya.

Berlebihankah?

Mungkin, Tuhan mengirimnya pada Nala, semata mengimbangi cinta ugal-ugalan lelaki itu, yang kebanyakan orang pasti akan bergidik ngeri padanya. Tidak bisa dipungkiri, ia pun demikian. Tapi ia sangat paham kalau laki-laki tersebut pandai mengelola pikiran, jika tidak, ia pasti sudah habis sekarang, tiada lagi alasan takut.

Tanpa disadari, Amaryllis seperti pawang bagi berandalan kerajaan itu. Juga menjadi jembatan kakak-beradik, Nawa dan Nala, kembali akur. Dengan rasa gengsi setinggi itu, mana mungkin mereka bisa melihat hal lain dari diri masing-masing selain kebencian?

Ia berbaring, memejamkan mata, seraya berharap waktu berjalan lebih cepat. Usai otak mulai melepaskan gelombang delta, tak lama kemudian ia memasuki fase REM, alias bermimpi. Ketika itulah tubuhnya bergerak-gerak gelisah, detak jantungnya berpacu kuat. Hingga akhirnya, ia terbangun dan bergegas duduk ke ujung ranjang.

Baru beberapa menit dirinya terlelap, tapi mimpinya terasa begitu panjang. Ulangan kejadian penting di alam bawah sadarnya yang sempat terlupakan. Di mana ia dibawa sosok berjulukan ‘Nona Kukang’ ke sebuah tempat yang hampa dan refleksi seluruh Wakshuda bertebaran di dinding-dindingnya, tanpa dinding pembatas. Ia melupakan hal itu karena berkonsentrasi pada Ratu Ghayatri dan Roh Dusht.

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang