13 | Sejarah Yang Hilang

20 3 1
                                    

Jangan lupa vote, Luv.

·⁠·✧☬✧⁠⁠·⁠·

Tas selempang disampirkan di bahu. Matanya menyusuri setiap kalimat pada buku catatan itu, cermat dan fokus. Tangan kanannya meraba dinding kayu rak besar, mencari beberapa tombol. Namun, bacaannya terlalu menarik untuk ditinggalkan bahkan sekejap.

Di sini tertulis, keempat putra Raja Irang Krastala, lalu pemerintahan selanjutnya dipimpin ... siapa ini? Bukan dari keempat putra beliau? Tapi memang nggak ada catatan soal Ratu Ghayatri, batin Amaryllis, mengerutkan kening karena berpikir keras.

Suara berat tiba-tiba berbisik memanggil namanya, bersamaan sebuah tangan dingin nan lengket menyentuh jari-jemari di permukaan papan. Ryllis terhenyak lantas menengadah. Wajah tampan berlumur darah yang tak lagi basah karena diserap pasir dan serbuk cangkang kerang yang masih sedikit kasar dan tajam.

“Tutup pintunya rapat-rapat, kalau nggak, rahasia kita akan diketahui orang lain.” Naladhipa sedikit melenguh sakit, lalu berjalan tergopoh-gopoh menjauhi perempuan itu.

“Ma-maaf, aku gak sadar.” Ryllis segera memasukkan bukunya ke tas dan memencet beberapa tombol secara beraturan. Rak besar itu bergeser otomatis menutupi sebuah jalan, yang baru saja dilewatinya.

“Kamu kenapa bisa luka-luka gini?” tanyanya seraya mendekat, risau.

“Satu kapal berhasil kami amankan. Pasukan yang berjaga agak peka, jadinya saya dan Malige harus melewati pertarungan sedikit,” ujar Nala terkekeh, mengangkat tangan, membuat ukuran di antara jari jempol dan telunjuk. Wajah tenangnya seolah-olah mengatakan kalau semua luka itu bukan apa-apa.

Amaryllis semakin gelisah sekarang. “Haruskah aku manggil dokter?” Seraya menarik kursi, untuk lelaki itu duduki.

Memasang ekspresi serius, Nala memberi perintah agar perempuan itu lebih mendekat. Merasa akan diberitahu hal penting, ia benar-benar melangkah ke depan Nala, membungkukkan badan dengan tangan bertumpu di lutut. Namun, sosok berjubah sobek dan kacau itu malah menyentuh ujung hidungnya, entah sejak kapan raut serius berganti sumringah.

“Kamu mau saya ditangkap dan dianggap sebagai pemberontak, ya?” Menatap Ryllis yang kini menunduk sehingga matanya tertutup poni.

“Kalo gitu, mau dibiarin aja? Malige juga begini?” Nadanya menampakkan kekesalan.

“Iya, dia singgah di gua buat memulihkan diri. Saya dibiarkan begini, bakal infeksi. Kamu bantu bersihkan lukanya dan oleskan salep, sistem kekebalan tubuh halimunan lebih kuat dari manusia, jadi saya bisa sembuh dengan cepat.” Tanpa aba-aba melepas jubahnya.

Tak tahan akan sobekan di tubuh lelaki itu, Amaryllis berinisiatif menerima kain-kain bekas pakaian tersebut sambil memejamkan mata. Lalu ia kembali membawa mangkuk besar, handuk kecil, beserta botol salep. Tidak henti-hentinya mencoba mengalihkan pandangan, tetapi jelas, itu menyusahkan dirinya mengelap punggung Nala.

“Kalau kamu yang begini, walau pun amit-amit terjadi, saya pasti akan melalukan hal yang sama, supaya kamu sembuh,” tutur Nala.

Ryllis tampak sebal. “Kalo aku luka gini, dari pada minta tolong kamu urusan bersih-bersih badan, lebih baik gak usah dibersihin sekalian. Ingat itu.” Menekankan.

Lelaki itu tertawa pelan. “Siap! Tapi tergantung.”

Ryllis mencebik kesal. Beberapa saat kemudian, ia menyerahkan handuk basah agar Nala sendiri yang membersihkan bagian depan tubuh sementara ia mengoleskan salep di area belakang.

“Kamu gak perlu menghormati saya.” Tiba-tiba berkata demikian.

Perlu sejenak untuk berpikir, topik mana yang diungkit. Ia pun teringat pertemuannya dengan Nala di taman. “Anggap aja semacam formalitas bila kamu lagi di istana, kalo di luar atau kayak sekarang ... aku bakal bersikap santai,” jelasnya.

WakshudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang