"Truth or dare?"
Seorang gadis dengan dress ketat tanpa lengan berwarna navy memutar bola matanya malas. Oh yang benar saja. Sungguh permainan yang amat membosankan, tapi ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti teman-temannya ini.
"Dare"
Gadis bersurai cokelat di depannya tersenyum lebar. "Oh wow. Pilihan yang bagus, Mallory!" ucap Leona girang.
Mallory berdecak malas. Kenapa ia harus berada di sini, sih? Lebih baik tadi ia tidak mengiyakan ajakan Leona untuk datang ke club malam terkutuk ini. Suara musik yang keras benar-benar memekakan kedua telinganya. Mallory rasa setelah ini ia harus memeriksakan telinganya ke dokter.
Aura, gadis dengan kacamata hitam yang melekat di dahinya bertepuk tangan heboh. "Hari ini Mallory pilih dare guys! Jangan sampai lepas!"
Tawa terdengar di ujung ruangan club malam itu.
Mallory menatap Aura dengan pandangan tidak senang, karena tepuk tangan gadis itu yang heboh sekarang beberapa penghuni club memandang ke arah mereka berempat. Mallory benci menjadi pusat perhatian.
"Apa dare nya?" tanya Mallory tidak sabar. Ia ingin cepat-cepat pulang dan tidur.
Grace, gadis dengan rambut blonde andalannya menjentikkan jari ketika suatu ide hinggap di kepalanya. "Aku! Aku mau kasih dare!!"
Leona memandang Grace dengan pandangan tidak terima. Sekarang adalah gilirannya memberikan dare, bukan gadis itu.
"Ini giliranku, Grace"
Grace menatap Leona dengan polos. "Tapi aku punya ide! Ini bagus! Idenya bagus! Hehe"
Leona berdecak. "Pokoknya ini giliranku!"
"Tapi-"
"Tidak ada tapi-tapi!"
Aura memutar bola matanya malas sedangkan Mallory menguap bosan. Pertengkaran Leona dan Grace yang kesekian kali membuatnya mengantuk.
"Oke Mallory. Dare nya adalah, cium pria itu"
Mallory mengerutkan kening ketika Aura menunjuk sesuatu di belakangnya.
Leona dan Grace ikut menghentikan perdebatan mereka.
Leona melotot. "Hei! Seharusnya aku yang memberi Mallory dare!"
Aura berdecak. "Kalian terlalu lama berdebat, membuat telingaku berdengung"
Mengabaikan, Mallory lebih memilih menoleh ke belakang tepat arah dimana Aura menunjuk. Sedetik kemudian Mallory melotot ngeri.
Aura pasti sudah tidak waras karena memberinya dare untuk mencium om-om itu kan?
"Kau gila? Menyuruhku mencium pria tua itu?"
Aura mengerjap. "Hehe, kan hanya dare"
Mallory menatap Aura marah. "Aku masih punya harga diri, tahu!"
Aura tersenyum polos. "Ayolah, hanya menciumnya lalu pergi, selesai. Apa susahnya?"
Mallory menatap Aura tajam.
Aura meneguk ludahnya. "Oke ganti. Leona, sekarang giliranmu"
Leona tersenyum lebar.
"Jadikan pria itu sebagai pacarmu"
Mallory mengikuti arah dimana Leona menunjuk. Detik itu juga Mallory serasa ingin terbang ke mars saja.
Bagaimana bisa ia di suruh menjadikan si ketua mafia itu sebagai pacarnya?!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist's Throne
FantasyMallory pikir, hidupnya sudah berakhir. Ya, seharusnya begitu. Namun, kenapa ia malah berada di sini? "Jangan bermimpi untuk menaiki kursi takhta, adik. Sebaiknya, berlatihlah untuk mencium kakiku di masa depan mulai dari sekarang, adikku sayang" Eh...